Pendanaan menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan program pembangunan, tak terkecuali upaya perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut berkelanjutan. Kita tidak bisa bergantung pada satu sumber pendanaan saja, misalnya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mengacu pada Rencana Operasional FOLU Net Sink Indonesia 2030, kebutuhan pendanaan untuk tata air gambut dan Restorasi Ekosistem Gambut pada periode 2025-2030 untuk mencapai target Net Sink pada sektor FOLU yaitu 4,81 triliun rupiah.

Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut, diperlukan identifikasi berbagai sumber pendanaan alternatif serta kolaborasi berbagai multi-pihak. Di antara berbagai skema pendanaan yang tersedia, salah satu skema pendanaan yang tersedia dan dapat dikelola di tingkat daerah yaitu alokasi dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perusahaan. Mengacu pada mandatori Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Pendanaan TJSL dapat disinergikan dengan program pembangunan daerah untuk menjawab isu-isu strategis daerah. Namun, pada kenyataannya upaya pemerintah dan dunia usaha seringkali tidak tersinkronisasi dengan baik, termasuk dalam studi kasus pelaksanaan TJSL yang dikaji di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat Indonesia. Kajian ini menjabarkan proses pengayaan konsep TJSL, pembaruan visi dan misi, peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan, dan penyusunan kerangka kebijakan untuk mendukung optimalisasi TJSL untuk pengelolaan Ekosistem Gambut yang berkelanjutan.