Top
 

Catatan pendek dari perjalanan panjang di desa-desa tepian sungai

Foto 1. Perjalanan Tim KELTI 4 PMG KalBar ke desa-desa di Kubu Raya

Kami memulai perjalanan ke sejumlah desa pada awal April 2021. Bertolak dari salah satu hotel di Pontianak, menggunakan mobil menuju salah satu desa di hilir Sungai Kapuas, yaitu Desa Sungai Ambangah. Penduduk dari luar desa lebih mengenalnya sebagai Teluk Kumpai, karena merupakan pusat perniagaan dan pasar yang cukup ramai. Perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam ini cukup membuat kami lelah, karena pada malam hari sebelum keberangkatan kami harus lembur untuk mempersiapkan banyak perlengkapan sebelum melakukan penelitian di sana.

Kami tergabung dalam Program Peneliti Muda Gambut Kalimantan Barat (PMG KalBar), yang merupakan slaah satu rangkaian kegiatan Proyek Peat-IMPACTS, ICRAF Indonesia yang bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya. Kami bertugas selama kurang lebih dua bulan untuk meneliti di sejumlah desa. Kami yang tergabung dalam satu dari empat rombongan peneliti ini beranggotakan 15 orang, yang terdiri atas 6 laki-laki dan 9 perempuan.

Perjalanan ke desa pertama ini membuat kesehatan kami sedikit menurun, belum lagi keadaan cuaca yang cukup panas saat itu. Ada yang mulai terserang flu, pusing, dan sakit kepala. Bukan karena fisik mereka lemah, namun karena begitu banyak persiapan yang harus kita lakukan sebelum melakukan perjalanan penelitian menuju desa-desa ini. Penelitian di desa yang dilakukan selama kurang lebih satu minggu ini memberikan banyak sekali pengalaman dan pengetahuan baru. Mengenal banyak kebudayaan baru, potensi sumberdaya alam, juga masyarakat yang tinggal disana. Hal ini pula yang membuat kami tetap bersemangat untuk mengikuti dan menyelesaikan penelitian ini.

Desa Sungai Ambangah terkenal dengan sejumlah komoditas pertanian, seperti bengkoang, jahe, lada dan beberapa komoditas perkebunan seperti karet dan sagu. Selain itu, produk perikanan juga menjadi ciri khas desa yang terletak di Kecamatan Sungai Raya ini, salah satunya adalah ikan nila. Masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan Sungai Kapuas ini sebagian besar bekerja sebagai petambak ikan nila. Hasil ikan umumnya dijual di sejumlah pasar tradisional besar di Kota Pontianak. Kami juga berkesempatan mengunjungi salah satu situs kebudayaan di Sungai Ambangah, seperti Kuil Pemujaan Dewi Kwan Im yang menjadi lokasi wisata lokal penduduk dari dalam dan luar desa.

Selang beberapa hari, setelah melalui perbaikan dan evaluasi data hasil penelitian, kami melanjutkan perjalanan ke desa berikutnya. Desa ini bernama Bengkarek, yang sudah lama saya dengar namun baru sempat untuk berkunjung langsung melalui program penelitian ini. Sesampainya di desa, kami dipersilakan menginap di kantor desa; tempat yang cukup layak untuk melepas penat dari perjalanan yang menempuh jarak puluhan kilometer. Perjalanan di desa mulanya menggunakan mobil, namun karena akses jalan yang sangat kecil, kemudian dilanjutkan dengan sepeda motor. Total waktu yang kami perlukan sekurangnya tiga jam untuk sampai di desa. Beberapa hari setelah berada di desa, kami mulai memasuki Ibadah Puasa Ramadhan.

Setelah pamit dengan pemerintah dan penduduk desa, kami memulai perjalanan panjang dengan melewati jalur air, membelah sungai-sungai, tawa yang menyatu dengan suara kapal mesin menuju ke desa-desa lain. Kali ini kami sudah hafal betul cara dan trik dalam melakukan penelitian dan tetap menikmati perjalanan, meskipun di tengah dahaga dan lapar karena puasa. Kami memasuki Desa Muara Baru, sebuah desa yang termasuk salah satu wilayah terluar dari Kabupaten Kubu Raya.

Foto 2. Penduduk Desa Muara Baru menggunakan perahu mesin sebagai alat transportasi utama.

Desa ini sama dengan desa-desa berikutnya yang kami kunjungi, seperti Betuah, Radak Baru dan Tanjung Beringin, sebagian besar penduduk menggunakan sungai sebagai moda transportasi. Di desa-desa ini kami mengenal banyak sekali budaya lokal dan sumber penghidupan masyarakat. Umumnya penduduk bekerja sebagai petani atau pekebun, sebagian bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan dan kayu, juga ada yang bekerja sebagai nelayan.

Kami ingat betul saat berada di Desa Tanjung Beringin dan Desa Betuah, kami beruntung dapat menyaksikan secara langsung dua acara adat budaya lokal yang masih lestari. Di Desa Tanjung Beringin kami mengikuti upacara adat berupa hukuman secara adat dayak bagi pelaku yang melanggar peraturan lokal. Saat itu diketahui ada salah satu masyarakat yang melanggar peraturan berupa membakar udang di sungai. Masyarakat lokal percaya bahwa dengan membakar udang dan produk turunan berbahan dasar udang seperti terasi dan cencalok (asinan fermentasi udang) dapat mendatangkan malapetaka di desa. Kemudian di Desa Betuah, kami juga mengikuti upacara adat gawai hasil panen yang dilakukan pada bulan Mei 2021 kemarin. Upacara gawai ini dimulai dengan ritual buang-buang, seperti memberikan sesajian berupa poe’ (ketan) dan sejumlah hasil panen lain kepada Jubata (Tuhan) dan menghormati roh para leluhur dengan menghanyutkan sesajian tersebut ke sungai.

Hampir semua aktivitas masyarakat dilakukan di atas sungai, begitu pula di Desa Radak Baru dan Muara Baru. Mulai dari berdagang hingga pergi ke kebun, masyarakat memilih menggunakan akses sungai. Seperti itulah gambaran masyarakat yang berada di tepian sungai, yang tidak memiliki akses transportasi darat yang memadai. Mereka menggantungkan hidup melalui sungai, dari budaya hingga penghidupan. Banyak sekali cerita yang kami sampaikan selama kami berada di desa-dea tersebut. Dari mencoba untuk mandi dan mencuci pakaian di sungai, atau sekedar mencari angin segar dari kepenatan bekerja. Saya teringat sebuah buku bertajuk ‘Sungai dan Kebudayaan’, yang menceritakan tentang bagaimana pengaruh sungai terhadap budaya dan karakteristik masyarakat lokal. Ada sejumlah kebudayaan besar dunia yang berasal dari sungai, seperti kebudayaan Sungai Nil di Mesir, kebudayaan Sungai Indus dan Gangga di India, kebudayaan Sungai Eufrat dan Tigris di Irak serta sejumlah kebudayaan lokal seperti Sungai Kapuas di Kalimantan, Sungai Musi di Sumatera, dan Bengawan Solo di Jawa. Belajar dari kehidupan masyarakat di desa-desa tepian sungai, bahwa salah satu bentuk menghargai anugerah yang diberikan Tuhan adalah dengan menjaga dan melestarikan pemberianNya.