Tardin, Mengubah Dirinya sebagai Pelindung Hutan
Oleh: Junaidi Hutasuhut, Iskak Nugky, dan Tikah Atikah
Sekitar 17 tahun yang lalu Tardin, seorang petani yang mengandalkan hidupnya dari kayu gelam dari kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan, salah satu kawasan konservasi di Sumatera. Meski ia menyadari aktivitas tersebut dapat merusak lingkungan, keterbatasan ekonomi serta minimnya peluang kerja membuat Tardin sulit melihat peluang lain.
Bagi Tardin, kayu gelam adalah satu-satunya pilihan hidup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, meski dihadapkan pada risiko tinggi bertemu satwa liar, dan kekhawatiran akan tertangkap petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang bertugas menjaga kawasan konservasi.
Suatu hari, Tardin menemukan lebah kelulut, salah satu jenis lebah yang menghasilkan madu berkualitas tinggi. Ia sadar, meski pun madu itu manis, tindakannya merugikan ekosistem. Hutan yang terus dirambah akan kehilangan kemampuan alaminya untuk menopang kehidupan, baik bagi satwa liar maupun manusia di sekitarnya.
Namun, Tardin tidak tahu bagaimana caranya berhenti, karena keluarganya sangat bergantung pada hasil perambahan tersebut. Dalam kondisi ini, ia merasa terjebak dalam siklus yang tak berujung, merusak alam demi bertahan hidup.
Hingga suatu hari, Tardin mengikuti pelatihan yang di inisiasi oleh ICRAF melalui proyek Peat-IMPACTS di Desa Baru, Kabupaten Banyuasin, tempat ia tinggal. Salah satu program yang diikutinya adalah budidaya lebah kelulut, yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan tanpa merusak hutan.
Awalnya, Tardin ragu akan manfaatnya. Namun, setelah ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Tani Hutan “Bunga Desa,” ia mulai serius. “Saya belajar banyak hal baru, mulai dari merawat koloni lebah kelulut, proses memanen madu, hingga memasarkan produk. Selama pelatihan, saya dibimbing intensif oleh peneliti ICRAF dan KPH Palembang Banyuasin, untuk memastikan kami paham setiap proses budidaya ini”, ujar Tardin.
Perjalanan hidup Tardin berubah ketika ia berhasil menguasai budidaya lebah kelulut secara mandiri. Melalui keterampilannya, ia tidak hanya memproduksi madu berkualitas tinggi, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan. Lebah kelulut menjadi simbol keberlanjutan, memanfaatkan alam tanpa merusak ekosistemnya. Kini, Tardin juga berbagi ilmu dengan petani lain, baik di desanya maupun dengan desa-desa tetangga seperti Desa Lebung Itam di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Desa Sumber Makmur di Kabupaten Banyuasin.
Tardin bangga karena dapat berbagi ilmu yang bermanfaat bagi petani lain. “Semoga kedepannya saya bisa berbagi lebih banyak lagi, yang menginspirasi banyak petani. Ini membuktikan bahwa perubahan itu mungkin, asalkan ada kesadaran, dukungan, dan kemauan untuk belajar”, tegas Tardin.
Dukungan Tim ICRAF untuk mengajarkan praktik ekonomi berkelanjutan, memberikan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan, serta membuka harapan dan peluang baru untuk mencari sumber penghidupan. Dengan budidaya lebah kelulut, Tardin tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi juga turut melestarikan ekosistem hutan dan menjadi inspirasi bagi orang- orang di sekitarnya.
Transformasi Tardin adalah contoh nyata bagaimana pendekatan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat dapat mengubah kehidupan seseorang. Tardin telah menjadi pelopor pelindung lingkungan dan penggerak perubahan di komunitasnya.