Tiga Teknologi Ramah Lingkungan untuk Pengelolaan Lahan Gambut
Oleh: Iskak Nungky Ismawan
Meski pun hanya mencakup 3% dari luas daratan dunia, gambut menyimpan hampir sepertiga karbon tanah secara global. Indonesia memiliki kekayaan alam berupa lahan gambut seluas 13,34 juta hektare yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua bagian barat. Dengan demikian, kelestarian lahan gambut di Indonesia berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim global.
Lahan gambut punya peran yang berbeda bagi masyarakat lokal. Bagi mereka, lahan gambut adalah sumber penghidupan. Mereka memanfaatkan lahan gambut dangkal untuk pertanian palawija serta perkebunan kelapa, karet, dan kelapa sawit. Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan hati-hati memungkinkan perekonomian setempat bergerak di berbagai sektor berbasis lahan seperti perkebunan, tanaman pangan, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Namun, praktik pengelolaan yang tidak bertanggung jawab, seperti pengeringan yang berlebihan dan pembakaran lahan, dapat merusak ekosistem gambut. Hal ini tidak hanya mengancam mata pencaharian warga lokal, tetapi juga menyumbang emisi gas rumah kaca yang dampak negatif jangka panjangnya dirasakan oleh warga dunia.
Pada Juni hingga Oktober 2015, Sumatera dinyatakan darurat asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Pembukaan lahan gambut dengan cara membakar disinyalir sebagai salah satu pemicu utama, bersamaan dengan kekeringan panjang akibat El-Nino. Dampaknya sangat dirasakan oleh penduduk Sumatera maupun di luar pulau. Bahkan, asapnya mencapai Singapura dan Malaysia. Aktivitas ekonomi lumpuh karena masyarakat tidak dapat berkegiatan ke luar rumah, sekolah diliburkan, serta transportasi darat dan udara terhenti. Asap tebal menyebabkan masyarakat mengalami gangguan pernapasan (ISPA).
Menanggapi kejadian tersebut, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 untuk memulihkan dan mencegah kebakaran di lahan gambut. Peraturan ini juga melarang pembakaran lahan gambut. Dalam lingkup kehutanan, pembakaran hutan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum sesuai Pasal 78 Ayat 3 UU 41/1999, yang mengancam pelaku dengan pidana penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal lima miliar rupiah.
“Kalau persiapan lahan tidak boleh dengan cara dibakar, bagaimana caranya?”, kira-kira demikian keresahan para petani penggarap lahan gambut yang dalam kurun waktu yang lama telah mempraktikkan metode pembakaran lahan.
Memang, kebijakan larangan pembakaran lahan gambut perlu disambut baik demi kelangsungan aktivitas ekonomi, kesehatan masyarakat, dan kelestarian lingkungan. Namun, tanpa pembakaran, petani di lahan gambut membutuhkan dukungan berupa pengetahuan dan pendampingan teknis mengenai metode alternatif yang ramah lingkungan. Penyiapan lahan 0gambut tanpa membakar perlu dilakukan dengan biaya dan tenaga yang terjangkau, serta mampu menghasilkan pendapatan yang layak dan menguntungkan bagi para petani penggarap.
Pelatihan Pembukaan Lahan Gambut Tanpa Bakar (PLTB)
ICRAF Indonesia dalam proyek Peat-IMPACTS, bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuasin menyelenggarakan pelatihan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).
Inisiatif ini tidak hanya bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya kebakaran hutan dan lahan, tetapi juga menekankan pentingnya pengelolaan lahan gambut tanpa pembakaran.
Pelatihan ini dilaksanakan secara partisipatif, menggabungkan teori di kelas dan praktik langsung di lapangan. Peserta diperkenalkan dengan praktik pertanian di lahan gambut yang berkelanjutan dan diajak memahami serta mempraktikkan tiga teknologi utama yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi lahan dan kebutuhan masing-masing.
1. Pembuatan Asap Cair
Asap cair adalah cairan yang diperoleh dari hasil pembakaran tertutup di mana asap yang dihasilkan diubah menjadi cairan. Alat yang digunakan meliputi drum yang dimodifikasi sebagai tungku, pipa besi untuk saluran keluarnya asap cair, dan wadah pendingin. Produk asap cair ini memiliki berbagai manfaat, antara lain sebagai pembeku getah karet yang lebih ekonomis, pengawet makanan seperti ikan atau daging asap, pengawet kayu agar tahan dari serangan rayap, pupuk organik cair, serta biopestisida bagi tanaman.
2. Pembuatan Biochar (arang)
Proses pembuatan biochar dapat dilakukan dengan dua cara: pembakaran dalam tanah dan pembakaran di atas tanah. Pembakaran dalam tanah melibatkan pembuatan lubang sedalam 50-100 cm, pengaturan kayu kering, dan penutupan dengan tanah lempung. Sementara itu, pembakaran di atas tanah menggunakan tumpukan kayu yang ditutup rapat dengan tanah liat, menyisakan celah kecil untuk memasukkan api. Pembakaran dilakukan dalam kondisi sedikit oksigen (proses pirolisis) sehingga memakan waktu beberapa hari untuk menghasilkan biochar berkualitas. Biochar berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan mengurangi derajat keasaman (menaikkan pH) tanah gambut. Selain itu, biochar yang dihasilkan dapat dijual sebagai sumber pendapatan tambahan dan memiliki nilai ekonomi sebagai bahan bakar alternatif untuk memasak.
3. Pembuatan Kompos
Metode pembuatan kompos ini disarankan untuk lahan pertanian palawija yang menghasilkan sisa tanaman lunak dan mudah membusuk, seperti kacang- kacangan, jagung, sayuran, singkong, ubi, dan talas. Sisa tanaman tersebut kemudian dicincang dan dicampur dengan bakteri pengurai seperti EM4 atau mikro-organisme lokal (MOL), kemudian ditutup rapat dan dibiarkan selama satu bulan hingga menjadi kompos. Pupuk kompos yang dihasilkan kaya akan nutrisi makro dan mikro yang baik bagi pertumbuhan tanaman, serta membantu menjaga kesuburan dan kelembapan tanah. Pupuk hasil pengomposan dikembalikan ke tanah dengan cara disebar merata atau ditempatkan di sekitar tanaman budi daya. Pada lahan persawahan, praktik pembuatan kompos dilakukan dengan menebas sisa tanaman padi atau rumput yang kemudian dibenamkan ke dalam tanah. Setelah satu hingga dua minggu, tanah kemudian dibajak supaya tanah dan bahan organik yang sudah membusuk tercampur merata.
Penerapan teknologi-teknologi ramah lingkungan ini diharapkan memungkinkan petani mengelola lahan gambut secara berkelanjutan tanpa membakar. Perubahan kebiasaan ini memang memerlukan waktu dan pendampingan, namun dapat mencegah kebakaran hutan dan lahan yang merugikan banyak pihak. Melalui edukasi dan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, tantangan pengelolaan lahan gambut perlahan dapat diatasi. Diharapkan petani dan seluruh elemen masyarakat semakin menyadari bahwa praktik tanpa bakar tidak hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga berpotensi meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan mereka.