Top
 

Agro-Silvo-Fishery Innovation: Optimizing Land and Improving Livelihoods in Sungai Radak Dua Village

Sungai Radak Dua Village, located in Terentang Sub-District, Kubu Raya Regency, has become a model village for the development of agro-silvo-fishery demoplots using the “Surjan” system in the peatland. The Surjan system is a cultivation system on swampy land that employs ‘mounds’ and ‘basins’ as well as the construction of canals to manage water flow.

On the ‘mounds’ or ridges, various types of plantations, forestry, and agricultural crops are planted, such as areca nut, laban, durian, as well as seasonal horticultural crops and secondary crops. Meanwhile, the ‘basins’ are used for cultivating local fish, creating an integrated and productive ecosystem.

This innovation marks a significant step forward in sustainable peatland management and offers new hope for food security and the livelihoods of the local community. This innovative farming model not only optimizes land use but also has the potential to improve the well-being of the local community.

Amid the challenges of climate change, the “Surjan” system provides an adaptive solution that integrates agriculture, forestry, and fisheries into a unified ecosystem, creating a resilient and sustainable development model for the future.

Figure 1. Agro-Silvo-Fishery Demo plot with the Surjan System, Sungai Radak Dua Village, Terentang District, Kubu Raya Regency, West Kalimantan

The development of the demo plot by ICRAF Indonesia through the Peat-IMPACTS (Improving the Management of Peatlands and the Capacities of Stakeholders in Indonesia) program, supported by BMU-IKI, seeks to overcome the challenges faced by the community of Sungai Radak Dua Village by managing water on land that is inundated during the dry season and flooding that occurs every rainy season due to clogged canals. Additionally, the community often faces pest and disease attacks that reduce agricultural production.

By integrating agriculture, forestry, and fisheries, this agro-silvo-fishery approach not only helps mitigate flooding and improve drainage but also enhances ecosystem resilience and overall agricultural productivity.

Figure 2. The Assistant for Economic Affairs and Development of the Kubu Raya Regency Secretariat, Tri Indriastuty, S.Hut, MT, planted durian trees at the demo plot in Sungai Radak Dua Village.

So far, the village government has contributed by developing the Surjan system on 15 hectares of village land out of the expected 25 hectares. Meanwhile, ICRAF has provided training to farmer groups and established a 0.5-hectare demo plot, which was built over five months since November 2023.

The Assistant for Economic Affairs and Development of the Kubu Raya Regency Secretariat, Tri Indriastuty, S.Hut, MT, who inaugurated the demo plot on behalf of the Acting Regent of Kubu Raya Regency on Tuesday, May 21, 2024, stated that the demo plot land can be planted with chilies as a strategy for inflation control and food security. She hopes the program’s results can also contribute to addressing extreme poverty and stunting in Kubu Raya Regency.

“The output is how this farming business can increase community income, both from crops and fish developed. It is hoped that this program can continue as a model even when ICRAF no longer accompanies it. The program’s results can also contribute to addressing extreme poverty and stunting,” she said.

Through the development of agro-silvo-fishery with the Surjan system, it is expected that the community can achieve food security from various seasonal horticultural crops, gain additional income from areca nut and durian, as well as secondary crops and fish, and produce charcoal fuel from laban trees.

Figure 3. One of the ‘basins’ serves as a site for fish cultivation.

“At the village level, this farming model can create eco-tourism opportunities such as fishing and agro tourism. From an environmental perspective, the application of this system will reduce the use of fire for land preparation, reduce the use of chemical pesticides due to the presence of fish on the land, and optimize the use of organic fertilizers to improve soil structure and fertility,” said Subekti Rahayu, Carbon Biodiversity Specialist at ICRAF Indonesia.

According to Rahayu, the development of the agro-silvo-fishery demo plot in Sungai Radak Dua Village is expected to become a strategic learning site for the community and relevant stakeholders in sustainable peatland management.

With the implementation of the “Surjan” system, Sungai Radak Dua Village not only demonstrates how peatland can be managed sustainably but also serves as an inspiration for other villages to adopt similar approaches in addressing climate change and improving community welfare.

Author: Dhian Rachma
Editor: Subekti Rahayu

Inovasi Agro-Silvo-Fishery: Optimalisasi Lahan dan Peningkatan Penghidupan di Desa Sungai Radak Dua

Desa Sungai Radak Dua, yang terletak di Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, menjadi salah satu desa percontohan dalam pengembangan demoplot agro-silvo-fishery dengan sistem “Surjan” di lahan gambut. Sistem Surjan merupakan sistem budidaya pada lahan rawa yang menerapkan bentuk ‘gundukan’ dan ‘cekungan’ serta pembuatan kanal sebagai pengatur tata air di lahan.

Pada bagian ‘gundukan’ atau pematang, ditanam berbagai jenis tanaman perkebunan, kehutanan, dan pertanian seperti pinang, laban, durian, serta tanaman hortikultura semusim dan palawija. Sementara itu, bagian ‘cekungan’ digunakan untuk budidaya ikan-ikan lokal, menciptakan ekosistem yang terpadu dan produktif.

Inovasi ini menandai langkah maju dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dan memberikan harapan baru bagi ketahanan pangan serta penghidupan masyarakat lokal. Model usaha tani yang inovatif ini tidak hanya mengoptimalkan penggunaan lahan, tetapi juga berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Di tengah tantangan perubahan iklim, sistem “Surjan” menawarkan solusi adaptif yang mengintegrasikan pertanian, kehutanan, dan perikanan dalam satu kesatuan ekosistem. Pendekatan ini menciptakan model pembangunan yang tangguh dan berkelanjutan untuk masa depan.

Gambar 1: Demoplot agro-silvo-fishery dengan sistem Surjan, Desa Sungai Radak Dua, Kecamatan Terentang, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat

Pembangunan demoplot oleh ICRAF Indonesia melalui program Peat-IMPACTS (Improving the Management of Peatlands and the Capacities of Stakeholders in Indonesia) yang didukung oleh BMU-IKI ini berupaya untuk mengatasi kendala yang dihadapi masyarakat Desa Sungai Radak Dua, dengan mengatur tata kelola air pada lahan yang tergenang selama musim kemarau dan banjir yang selalu datang setiap musim penghujan akibat tersumbatnya kanal-kanal. Selain itu, Masyarakat juga seringkali menghadapi serangan hama dan penyakit yang mengakibatkan menurunnya produksi pertanian.

Dengan mengintegrasikan pertanian, kehutanan, dan perikanan, pendekatan agro-silvo-fishery ini tidak hanya membantu mengatasi banjir dan memperbaiki drainase, tetapi juga meningkatkan ketahanan ekosistem dan hasil produksi pertanian secara keseluruhan.

Gambar 2: Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Kubu Raya, Tri Indriastuty, S.Hut, MT, melakukan penanaman pohon durian pada saat peresmian demoplot Desa Sungai Radak Dua

Sejauh ini, pemerintah desa telah berkontribusi dalam membangun “Surjan” pada lahan desa seluas 15 hektar dari rencana yang diharapkan seluas 25 hektar. Sementara ICRAF berkontribusi dalam memberikan pelatihan kepada kelompok tani dan membangun demoplot seluas 0,5 hektar yang telah dibangun dalam kurun waktu lima bulan sejak November 2023.

Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Kubu Raya, Tri Indriastuty, S.Hut, MT, yang meresmikan demoplot mewakili Penjabat Bupati Kabupaten Kubu Raya pada Selasa, 21 Mei 2024, mengatakan bahwa lahan demoplot ini juga dapat ditanami cabai sebagai strategi pengendalian inflasi dan ketahanan pangan. Ia berharap hasil program ini dapat berkontribusi pada penanganan kemiskinan ekstrem dan stunting di Kab. Kubu Raya.

“Outputnya adalah bagaimana usahatani ini nantinya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, baik dari tanaman maupun ikan yang dikembangkan. Harapannya program ini dapat berjalan terus sebagai model meskipun nantinya ICRAF sudah tidak mendampingi lagi. Hasil dari program ini juga dapat berkontribusi bagi penanganan pengurangan kemiskinan ekstrim dan stunting”, ujarnya.

Melalui pengembangan agro-silvo-fishery dengan sistem Surjan ini diharapkan masyarakat dapat mencapai ketahanan pangan dari berbagai jenis tanaman hortikultura semusim, memiliki tambahan pendapatan dari pinang dan durian serta palawija dan ikan, serta menghasilkan bahan bakar arang dari tanaman laban.

Gambar 3: Salah satu ‘cekungan’ yang menjadi tempat budidaya ikan

“Pada skala desa, model usahatani ini dapat menciptakan peluang ekowisata seperti pemancingan dan agrowisata. Sementara dari aspek lingkungan, penerapan sistem ini akan mengurangi penggunaan api sebagai alat penyiapan lahan, mengurangi penggunaan pestisida kimia karena mempertimbangkan keberadaan ikan di lahan, dan mengoptimalkan penggunaan pupuk organik untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah”, ujar Subekti Rahayu, Carbon Biodiversity Specialist ICRAF Indonesia.

Menurut Rahayu, pembangunan demoplot agro-silvo-fishery di Desa Sungai Radak Dua diharapkan menjadi tempat pembelajaran yang strategis bagi masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan.

Dengan implementasi sistem “Surjan,” Desa Sungai Radak Dua tidak hanya menunjukkan bagaimana lahan gambut dapat dikelola secara berkelanjutan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi desa-desa lain untuk mengadopsi pendekatan serupa dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penulis: Dhian Rachma
Editor: Rahayu Subekti

Menuju Desa Gambut Lestari di Kabupaten Kubu Raya

ICRAF Indonesia bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Kubu Raya menyelenggarakan kegiatan Lokakarya Menuju Desa Gambut Lestari di Kabupaten Kubu Raya, pada Rabu, 14 September 2022.

Kegiatan ini merupakan muara dari berbagai hasil kajian lapang yang telah dilaksanakan oleh para Peneliti Muda Gambut (PMG) Kalimantan Barat sebagai bagian dari upaya #PahlawanGambut di Kalimantan Barat.

Temuan-temuan dari kajian lapang telah dirangkum menjadi sebuah dokumen berjudul “Peta Jalan Gambut Lestari” yang disampaikan kepada 27 desa yang sebelumnya telah dikunjungi oleh PMG sebagai lokasi penelitian. Melalui lokakarya ini, dokumen tersebut dibahas bersama para pemangku kepentingan dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten, untuk mendapatkan masukan bagi langkah pengelolaan lahan gambut lestari di 27 desa tersebut.

Kegiatan dibuka oleh Bupati Kabupaten Kubu Raya, H. Muda Mahendrawan, SH, MKn, yang dalam sambutannya menyampaikan keyakinan dan optimismenya akan masa depan pengelolaan lahan gambut di Kab. Kubu Raya.

“Kita yakin dan optimis dengan Kubu Raya, karena lahan gambut sudah menjadi bagian kehidupan kita, tinggal kita memperkuat perlakukan untuk memberikan kontribusi bagi diri kita sendiri, bumi kita dan bagi dunia ini,” ujarnya.

Lebih Lanjut Bupati mengatakan, “Jika sumberdaya di desa bisa dikelola dengan baik maka tidak akan pernah habis. Jika desa bisa mandiri pangan maka inflasi ekonomi juga bisa ditekan, karena yang paling besar dari biaya rumah tangga adalah biaya pangan.” Bupati juga berterima kasih kepada ICRAF dan mitra pembangunan lainnya, dan berharap agar penelitian ICRAF dapat memperkuat program-program yang akan dilakukan ditingkat desa dan dapat turut serta mendukung kemandirian pangan.

Turut hadir dalam kegiatan lokakarya, Kepala Dinas PMD Kubu Raya dan OPD Kabupaten Kubu Raya, OPD Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, perwakilan kecamatan, perwakilan 27 Desa area penelitian, dan mitra pembangunan yang ada di Kabupaten Kubu Raya dan Provinsi Kalimantan Barat.

Dalam sambutannya, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Kubu Raya, Drs. Jakariansyah, MSi, mengatakan, “Para kepala desa hari ini diundang untuk bersama-sama berbicara tentang apa saja hasil penelitian yang telah dilakukan. Harapannya, hasil penelitian tersebut dapat menjadi bagian dari kebijakan yang diterapkan bagi pemberdayaan masyarakat di desa maupun kabupaten, baik secara ekonomi maupun pembangunan.”

Jakariansyah juga berharap agar kedepannya desa-desa yang terpilih dapat menjadi pelopor dan garda depan bagi desa-desa lainnya, serta dapat membuat kebijakan dan memasukkannya di dalam Rencana Kerja Desa (RKD) setiap tahunnya, nantinya DPMD dan para mitra pembangunan seperti ICRAF Indonesia akan bersama-sama mendampingi.

Sementara itu, Koordinator Program Peat-IMPACTS, ICRAF Indonesia, Feri Johana, dalam pernyataannya mengatakan, “Hari ini ICRAF bersama DPMD Kubu Raya, mitra pembangunan, perwakilan camat dan desa, bersama-sama melakukan diskusi terkait kegiatan penelitian yang telah diadakan di 27 desa oleh 55 Peneliti Muda Gambut yang hasilnya terangkum dalam Dokumen Peta Jalan Gambut Lestari. Tindak lanjut dari kegiatan ini akan disusun rekomendasi yang dapat digunakan untuk pengelolaan lahan gambut bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, yang hasil akhirnya akan difinalisasi oleh DPMD.”

Menurut Feri, nantinya akan ada follow-up dengan kegiatan-kegiatan nyata di tingkat desa, khususnya di enam desa terpilih yang akan menjadi tempat kegiatan percontohan. Kegiatan akan dikembangkan melalui pembuatan komitmen dari para pihak dalam melakukan program pembangunan di desa-desa sekitar kawasan gambut, dengan berbagai inisiatif pengembangan model bisnis yang merupakan aspirasi dari masyarakat melalui berbagai proses diskusi awal yang sudah dilakukan di tingkat desa. Pengembangan model bisnis ini akan disempurnakan pada saat kegiatan lapangan yang akan dilaksanakan di masing-masing desa terpilih.

Dokumen Peta Jalan Gambut Lestari (PEGARI) juga secara simbolis diserahkan oleh Bupati Kubu Raya kepada perwakilan desa terpilih yang akan menjadi lokasi percontohan kegiatan, yakni Desa Kubu, Bengkarek, Radak Dua, Permata, Pasak, dan Sungai Asam. Dokumen tersebut kemudian dibahas di dalam sesi Diskusi Terfokus (FGD) untuk mendapatkan masukan dan perbaikan.

Dokumen PEGARI merupakan hasil penelitian yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan dan restorasi gambut pada desa-desa pada Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Terentang-Sungai Kapuas dan Sungai Kapuas – Sungai Ambawang di wilayah Kab. Kubu Raya. Proses penyusunan dilaksanakan secara bertahap dan melibatkan berbagai pihak di desa, melalui wawancara, survei rumah tangga, maupun diskusi kelompok terpumpun. Analisis data kemudian dilakukan di tingkat desa.

Dokumen PEGARI tersebut disusun dengan alat bantu ALLIR (Assessment of Livelihoods and Landscapes to Increase Resilience) atau ‘Penilaian Modal Penghidupan dan Bentang Lahan untuk Meningkatkan Resiliensi’.

Susunan dokumen PEGARI terbagi menjadi empat bagian. Pertama, membahas mengenai karakteristik penghidupan desa di lahan gambut Sumatera Selatan. Kedua, menjabarkan strategi peningkatan penghidupan berkelanjutan masyarakat pada kawasan hidrologis gambut. Ketiga, peta jalan peningkatan penghidupan berkelanjutan yang terdiri dari opsi intervensi, kelembagaan, faktor pemungkin, dan perubahan perilaku dalam menuju desa gambut yang lestari. Keempat, merupakan bagian penutup berupa ringkasan dari masing-masing bab yang telah dijabarkan sebelumnya.

Diharapkan dokumen yang telah disusun dapat memperkaya informasi dan memperluas pandangan pemangku kepentingan dan masyarakat desa terhadap berbagai opsi penghidupan lestari di dalam ekosistem gambut. Dokumen ini juga dapat digunakan sebagai rujukan bagi rencana pembangunan desa maupun pemangku kepentingan terkait lainnya, baik pada tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional.

Pada sesi dialog, salah satu perwakilan desa yakni Kepala Desa Permata menyampaikan bahwa selama ini telah ada banyak penelitian ataupun program di Desa Permata oleh berbagai lembaga, dan mereka (masyarakat desa) seringkali hanya menjadi objek penelitian ataupun kegiatan, sehingga Ia berharap pada program ICRAF kali ini mereka dapat lebih dilibatkan sebagai subyek, dan program yang dilaksanakan dapat berkelanjutan. (DR)

RAD-KSB: Peluang Sumsel Wujudkan Tata Kelola Sawit Berkelanjutan

Sebagai bentuk komitmen bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan melalui Dinas Perkebunan, bersama para pihak terus melanjutkan kegiatan penyusunan Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD-KSB) Provinsi Sumatera Selatan.

Kegiatan RAD-KSB kali ini dikemas dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) selama dua hari, 1-2 September 2022, di Ballroom Hotel Aryaduta Palembang, dengan tema Focus Group Discussion: Penetapan Program Kegiatan Prioritas dan Pleno Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD-KSB) Provinsi Sumatera Selatan.” FGD ini merupakan kegiatan yang ketiga, setelah sebelumnya Sumsel melaksanakan Lokakarya pada 27 Juli 2022, untuk menghimpun masukan dan menginventarisasi program atau kegiatan prioritas daerah, serta menyusun draf matriks rencana aksi RAD KSB Provinsi Sumatera Selatan.

Penyelenggaraan FGD terbagi kedalam dua sesi. Pada sesi pertama, FGD difokuskan pada pembahasan tentang program/kegiatan prioritas daerah dengan keluaran program, kegiatan, dan indikator yang akan ditetapkan. Adapun sesi berikutnya ditujukan untuk menyepakati rencana penulisan RAD KSB Provinsi Sumatra Selatan.

FGD melibatkan para pihak dari unsur OPD Provinsi Sumatera Selatan, Balai Konservasi, Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), Asosiasi Pengusaha Sawit maupun Asosiasi Petani Sawit, Akademisi, Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi, NGO / Mitra pembangunan Sumsel, dan lainnya.

Sekretaris Dinas Perkebunan Sumatera Selatan, Dian Eka Putra, MSi, dalam sambutannya menyampaikan, “Hari ini merupakan FGD yang ke-3 untuk menetapkan program prioritas daerah dan akan dibuat pembagian kelompok bahasan yang disesuaikan dengan 5 komponen sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang (RAN KSB), yakni penguatan data, penguatan koordinasi dan infrastruktur, peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, serta percepatan pelaksanaan sertifikasi ISPO dan akses pasar”.

Lebih lanjut Dian mengatakan, “Kegiatan ini merupakah langkah lebih lanjut bagi RAD KSB Sumsel dan harapannya sebelum akhir 2022, RAD-KSB telah selesai disusun dan dapat dilaksanakan oleh Disbun serta seluruh stakeholder yang terkait dengan komoditas kelapa sawit di Sumsel.”

Mandat penyusunan RAD-KSB menjadi peluang bagi pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan para pihak untuk dapat mewujudkan komitmen dan rencana ke depan dalam perbaikan tata kelola sawit secara berkelanjutan. RAD KSB merupakan arah pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.

Feri Johana, Koordinator Proyek Peat-IMPACT, ICRAF Indonesia, dalam pernyataannya mengatakan, “Penyusunan RAD KSB di Provinsi Sumatera Selatan merupakan tindak lanjut dari pengelolaan bentang lahan berkelanjutan dan pengelolaan gambut melalui skema pengembangan komoditas yang diusahakan berdasar prinsip-prinsip kelestarian  untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pengurangan resiko lingkungan, sehingga prosesnya haruslah bersifat inklusif dan berbasiskan data dan informasi terbaik saat ini.”

Penyusunan RAD KSB di Provinsi Sumatera Selatan tentunya menjadi bagian integral dari pengelolaan lahan yang berkelanjutan dengan pelibatan para pihak, dimana pengelolaan lahan berkelanjutan untuk pengembangan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi menjadi salah satu bagian penting.

Pada perencanaannya, penyusunan rencana pengembangan komoditas berkelanjutan tersebut memerlukan program, kegiatan dan indikator yang jelas dan sesuai melalui suatu wadah koordinasi dan konsultasi yang melibatkan para pemangku kepentingan. Oleh karenanya, penyelenggaraan FGD ini sebagai salah satu tahapan penting dalam penyusunan RAD KSB Provinsi Sumatra Selatan merupakan sebuah keharusan.

Sebagaimana diketahui, pertanian dan perkebunan telah menjadi salah satu sumber penghidupan utama masyarakat Provinsi Sumatera Selatan, termasuk didalamnya komoditas kelapa sawit. Kelapa sawit telah menjadi salah satu komoditas utama bagi masyarakat dengan luasan mencapai lebih dari 1 juta hektar. Dengan luasan yang cukup signifikan tersebut, dibutuhkan perencanaan yang komprehensif untuk dapat mengelola lahan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca menjadi 29 persen secara mandiri. Berdasarkan pernyataan Dian Eka Putra, Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan juga mendorong para petani kelapa sawit swadaya untuk membentuk kelompok tani, agar bisa memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dalam penentuan harga jual tandan buah segar atau TBS. Dian mengemukakan bahwa awal pembangunan kebun kelapa sawit memang lebih ditekankan pada kemitraan. Namun seiring tren harga komoditas yang tinggi, menarik masyarakat untuk turut membuka kebun kelapa sawit secara mandiri.

Jika terdapat peningkatan iklim usaha komoditas sawit, maka pekebun akan mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas, sehingga memungkinkan terjadi percepatan sertifikasi ISPO, dan pada akhirnya target SDGs juga tercapai. RAN KSB maupun RAD KSB adalah sebuah kerangka kerja sehingga tujuan utamanya adalah untuk menghadirkan enabling environment atau lingkungan pemungkin bagi pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.

Kegiatan penyusunan RAD-KSB Sumsel didukung oleh ICRAF Indonesia sebagai bagian upaya #PahlawanGambut di Sumatera Selatan, dimana sebagian perkebunan sawit di Sumsel berada diatas lahan gambut. #PahlawanGambut adalah sebuah gerakan untuk menghimpun pengetahuan, pembelajaran, pemahaman serta berbagai ide terkait pengelolaan gambut berkelanjutan oleh para penggiat, peneliti, pelaku usaha, petani dan generasi muda di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. (DR)

WikiGambut: Katalog Baru Manajemen Pengetahuan Gambut

Bincang Gambut ini dilaksanakan untuk memperkenalkan konsep dan pendekatan WikiGambut sebagai sistem pengelola pengetahuan gambut ke berbagai pihak, baik akademisi, peneliti, mahasiswa, swasta, komunitas, maupun masyarakat secara umum yang tertarik dengan isu gambut. WikiGambut memuat berbagai informasi seputar gambut, mulai dari sejarah, budaya, biodiversitas hingga pengelolaannya.

Beragam pengetahuan dan pembelajaran tentang gambut serta pengelolaan lahan gambut lestari yang saat ini masih tersebar di berbagai pihak, saat ini diupayakan untuk dihimpun kedalam WikiGambut pada tautan https://pahlawangambut.id/berbagi/

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat, Ir. H. Adi Yani, MH, dalam sambutannya yang disampaikan oleh Kabid Perlindungan, Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Marcelinus Rudy, SP, menyatakan, “Pemprov Kalimantan Barat mengharapkan penelitian yang dilakukan ICRAF melalui Program Peat-IMPACTS dapat mendukung perbaikan pengelolaan gambut berkelanjutan, memberikan solusi dan inovasi bagi persoalan-persoalan kebakaran lahan gambut di Kalbar, serta adanya inovasi bagi pembukaan lahan tanpa bakar yang mudah dan murah untuk bisa diterapkan oleh masyarakat.”

Adi Yani berharap kondisi lingkungan dan ekosistem gambut di Kalbar akan tetap terjaga dan lestari. Ia juga meminta agar para pihak yang hadir dalam Bincang Gambut, bisa memanfaatkan kegiatan ini untuk menyampaikan ide, saran, dan gagasannya agar dapat berkontribusi terhadap penelitian yang dilakukan oleh ICRAF. Sebagai salah satu provinsi dengan luas lahan gambut terbesar di Indonesia, berbagai kajian telah banyak dilakukan di Kalimantan Barat terkait pengelolaan lahan gambut, restorasi, pengelolaan air dan juga kondisi sosial ekonomi lahan gambut. Namun pengetahuan-pengetahuan ini belum dapat digunakan secara optimal untuk proses pengelolaan ekosistem gambut di Kalimantan Barat.

Salah satu penyebabnya adalah masih tersebarnya pengetahuan dan informasi tersebut pada berbagai pemangku kepentingan. WikiGambut berupaya secara terorganisir untuk mengumpulkan, mengkompilasi dan mensintesa pengetahuan serta informasi yang ada kedalam satu sistem pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management System) agar dapat digunakan secara luas untuk pengambilan keputusan terkait lahan gambut.

Andree Ekadinata, WP-6 Leader Pengelolaan Pengetahuan Program Peat-IMPACTS,  menyampaikan “ICRAF melihat bahwa pengetahuan yang ada di berbagai daerah tentang gambut sangatlah kaya, sayangnya pengetahuan tersebut masih tersebar dimana-mana sehingga saat dibutuhkan sulit untuk mengaksesnya.” Andree juga mengemukakan jika tenaga pendidik yang butuh bahan ajar tentang gambut seringkali harus mencari artikel tentang gambut dari berbagai sumber, serta dunia usaha yang membutuhkan masukan tentang bagaimana praktek terbaik di lahan gambut sulit mencari informasi yang dibutuhkan untuk menunjang pekerjaan mereka.

WikiGambut Kalbar
Keberadaan WikiGambut tentunya memerlukan dukungan berbagai pihak yang secara sukarela bersedia menjadi kontributor melalui Komunitas WikiGambut. Saat ini, tengah dibentuk Komunitas WikiGambut Kalimantan Barat (WikiGambut Kalbar). Sebelumnya berhasil terbentuk komunitas serupa di Sumatera Selatan yang telah berjalan dengan baik dan melibatkan berbagai pihak lintas generasi. Komunitas ini terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat, pemangku kepentingan, peneliti maupun penulis untuk dapat saling belajar dalam upaya menciptakan sebuah lingkungan kritis namun menyenangkan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang gambut.

Pembentukan Komunitas WikiGambut Kalbar ini bercita-cita untuk menghimpun dan menyebarluaskan pengetahuan dan pemahaman tentang gambut ke semua kalangan masyarakat di Kalimantan Barat tanpa terkecuali. Harapannya, masyarakat dapat memperoleh informasi tentang gambut secara lebih lengkap, untuk kemudian mampu memahami dan mendukung upaya-upaya pengelolaan dan pelestarian gambut di Kalimantan Barat.

Kegiatan talkshow #BincangGambut WikiGambut Kalimantan Barat ini dilaksanakan oleh World Agroforestry (ICRAF) Indonesia dengan didukung oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat, pada Kamis, 31 Maret 2022 di Hotel Harris, Pontianak. Dihadiri oleh berbagai pihak dengan beragam latar belakang, mulai dari komunitas sastra, blogger, guru, komunitas difable, akademisi, peneliti, perwakilan perusahaan, perwakilan OPD Kalimantan Barat, dan alumni PMG.

Pengembangan WikiGambut didukung sepenuhnya oleh program PeatMPACTS melalui #PahlawanGambut

Author: Dhian Rachmawati
Editor: Tikah Atikah

Melangkah Maju Mewujudkan Edukasi Gambut dan Mangrove di Kubu Raya

Dinas Pendidikan Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat sudah semakin dekat menuju target penyusunan Kurikulum Muatan Lokal Gambut dan Mangrove dengan menyelenggarakan kegiatan Diskusi Terpumpun (FGD) Tim Pengembang Kurikulum Muatan Lokal Gambut Dan Mangrove:, dengan mengusung tema “Melangkah Maju Mewujudkan Edukasi Gambut dan Mangrove di Kubu Raya”

Saat ini telah terbentuk Tim Pengembang Kurikulum Muatan Lokal Gambut dan Mangrove yang diresmikan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Kubu Raya. Tim pengembang kurikulum muatan lokal ini dipimpin oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kubu Raya, dengan beranggotakan staff Dinas Pendidikan dan Stakeholder terkait, dan didukung penuh oleh BRGM dan ICRAF. Selain akan diterbitkan SK tim pengembang kurikulum muatan lokal gambut dan mangrove, juga akan dilakukan perubahan atas peraturan Bupati Nomor 6 tahun 2015 tentang pelaksanaan kurikulum muatan lokal.

Dalam sambutannya, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kubu Raya, M. Ayub, SPd menyampaikan, “Gambut dan mangrove menjadi target kegiatan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya untuk lebih dicintai, dikembangkan dan dimanfaatkan. Mengedukasi sejak dini menjadi salah satu cara yang dihadirkan oleh satuan pendidikan yang ada. Harapannya, melalui edukasi lingkungan gambut dan mangrove, masyarakat Kabupaten Kubu Raya dapat mengenal, mencintai, mengelola, memanfaatkan, dan tetap menjaga lahan gambut dan mangrove sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat.”

Menurut Ayub, Dinas Pendidikan Kubu Raya mengajak ICRAF Indonesia dan BRGM karena mereka lebih memahami tentang konten materi tentang gambut untuk menghadirkan kurikulum muatan lokal gambut dengan konsep yang lebih memajukan Kubu Raya.”

Kepada media, Andree Ekadinata, WP-6 Leader Pengelolaan Pengetahuan program Peat-IMPACTS, mengatakan, “Tidak mungkin menyampaikan edukasi gambut kepada anak-anak seperti menuliskan sebuah karya ilmiah, kita harus menyesuaikan pengetahuan yang akan diajarkan dengan cara yang paling mudah untuk dipahami.”

Bagi Andree, cara yang paling mudah adalah dengan menjelaskan secara visual bukan dengan teks tentang bagaimana gambut terbentuk, bagaimana gambut bisa rusak, bagaimana gambut dipulihkan, dan bagaimana pengelolaan yang terbaik untuk lahan gambut. Ia juga menambahkan bahwa edukasi tentang lahan gambut bisa dinikmati dalam beberapa tahun mendatang, untuk itu perlu diterapkan oleh generasi muda yang telah mendapatkan pemahaman mengenai lingkungannya.

Muatan lokal adalah instrumen edukatif yang dirasa tepat, guna membangun kesadaran dan pemahaman terhadap pentingnya upaya perlindungan dan pemanfaatan serta fungsi lingkungan (gambut dan mangrove) sejak dini. Kurikulum muatan lokal telah menjadi kebijakan Pemerintah Daerah dengan salah satu payung hukumnya berupa Undang-undang No.20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013.

Kurikulum muatan lokal pada hakikatnya merupakan suatu perwujudan pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang berbunyi: Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan dan ciri khas satuan pendidikan.

Sementara untuk Kabupaten Kubu Raya telah terbit Peraturan Bupati Nomor 6 tahun 2015 tentang muatan lokal Pendidikan keagamaan, yang berisi tentang pembelajaran pendidikan keagamaan di luar materi mata pelajaran formal yang ada. Saat ini kurikulum muatan lokal di Kubu Raya belum memasukkan pendidikan lingkungan khususnya yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan gambut dan mangrove. Hal ini perlu segera dimulai dengan menerapkannya melalui muatan lokal pada pendidikan formal. 

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari lokakarya pendahuluan pada bulan November 2021 yang difokuskan untuk membangun kesamaan persepsi dan tujuan, serta saran dan masukan dari para stakeholder terkait dalam kegiatan pengembangan muatan lokal gambut dan mangrove. Selain itu, dilakukan juga pemetaan ruang lingkup pelajaran muatan lokal gambut dan mangrove yang dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sudah ada. Harapannya, akan terhimpun kompilasi ide, masukan dan saran dari hasil diskusi yang kemudian akan disusun kedalam silabus/modul muatan lokal gambut dan mangrove.

Kegiatan Diskusi Terpumpun ini dilaksanakan pada Selasa, 29 Maret 2022, di Hotel Gardenia Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Author: Dhian Rachmawati
Editor: Tikah Atikah

Sumatera Selatan Libatkan Pihak Swasta untuk Memantapkan Proses Penyusunan Dokumen RPPEG

Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Provinsi Sumatera Selatan didukung oleh ICRAF Indonesia dan Forum DAS Sumsel, terus melanjutkan proses penyusunan dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) dengan menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD): Penggalian Opini Para Pihak Dalam Rangka Penyusunan Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Provinsi Sumatera Selatan.”

FGD ini merupakan tindak lanjut dari tiga lokakarya sebelumnya untuk memantapkan proses penyusunan dokumen RPPEG Provinsi Sumatera Selatan. Pada sesi utama sebelum FGD, forum menghadirkan beberapa narasumber utama dari Bappeda Sumatera Selatan, Hutan Kita Institut (HaKI), narasumber ahli dari Universitas Sriwijaya Palembang, serta Pihak Swasta dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).

Para Pemangku Kepentingan dilibatkan secara lebih intensif untuk menggali opini dan masukan-masukan komprehensif dan mendalam, terkait tata kelola (strategi dan kebijakan) gambut dan teridentifikasinya rencana dan pelaksanaan tatakelola gambut oleh masing-masing instansi/ lembaga. Inventarisasi keberadaan data dan informasi yang berkaitan dan relevan dengan tata kelola gambut bersama-sama dirumuskan sesuai kewenangan parapihak.

Gambar 1. Suasana FGD tiap kluster

Proses penggalian opini dikelompokkan berdasarkan klaster kepentingan dan wewenang yang terdiri dari pihak pemerintah, swasta, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat, dengan fasilitasi dari DLHP Sumsel, Forum DAS Sumsel, dan ICRAF Indonesia. Perencana Ahli Madya Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumsel, Sri Widayanti, mengemukakan, “Dokumen RPPEG akan menjadi salah satu dasar dalam pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPPEG juga nantinya dapat menjadi dasar untuk peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tujuh daerah sebaran gambut di Sumsel, dengan luasan kesatuan hidrologis gambut (KHG) mencapai 2,09 juta hektar.” Menurutnya, salah satu prinsip dalam penyusunan RPPEG adalah bersifat partisipasif, sehingga para pihak harus ikut terlibat aktif.

Pembukaan “Focus Group Discussion (FGD): Penggalian Opini Para Pihak Dalam Rangka Penyusunan Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Provinsi Sumatera Selatan”

Sekretaris Umum GAPKI Sumsel, Zaghlul Darwis, mengatakan jika puluhan perusahaan sawit di Sumsel telah berupaya melindungi gambut yang berada di wilayah konsesi mereka. “Salah satunya melalui pembuatan sekat kanal, untuk mengatur tata kelola air di lahan gambut.” Dia menjelaskan sekat kanal tersebut juga merupakan upaya perusahaan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Apalagi, diketahui gambut merupakan lahan yang rawan terbakar saat kemarau tiba.

Pada kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Aryaduta, Palembang, 17-18 Februari 2022 tersebut, APHI dan GAPKI juga menyatakan dukungannya terhadap penyusunan RPPEG serta siap membantu dan bekerjasama dalam penyuplaian data.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga telah melaksanakan Bimbingan Teknis (BIMTEK) penyusunan RPPEG bersama Kementerian lingkungan Hidup dan kehitanan (KLHK), agar data, informasi, metode dan proses yang digunakan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dan disesuaikan dengan kondisi daerah.  Di tingkat kabupaten, Pemerintah Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir juga telah memulai proses awal penyusunan RPPEG, dan akan terus berproses kedepannya.

Sebagai salah satu provinsi dengan ekosistem gambut yang terluas di Indonesia, Sumatera Selatan berkomitmen penuh untuk dapat memulihkan kondisi gambut yang rusak dan mengelolanya dengan upaya yang terbaik. Hadirnya RPPEG di Sumatera Selatan diharapkan akan mampu mendukung komitmen tersebut, mencegah terjadinya kerusakan gambut lebih lanjut, dan menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut untuk sekarang dan masa yang akan datang di Sumatera Selatan. (DR)

Author: Dhian Rachmawati
Editor: Tikah Atikah

Bimbingan Teknis dari KLHK; Sumatera Selatan Terus Meningkatkan  Kualitas Proses Penyusunan Dokumen RPPEG untuk Kelestarian Ekosistem Gambut

Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Provinsi Sumatera Selatan didukung oleh ICRAF Indonesia dan Forum DAS Sumsel, melanjutkan proses penyusunan dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) dengan menyelenggarakan kegiatan Bimbingan Teknis Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) di Provinsi Sumatera Selatan.”, yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para pemangku kepentingan dalam mendukung percepatan penyusunan RPPEG provinsi dan kabupaten.

Diharapkan melalui proses Bimbingan Teknis (Bimtek) ini akan memperoleh kesamaan pengetahuan terkait kebijakan, prosedur, langkah teknis, dan penulisan dokumen RPPEG, serta terkumpulnya informasi yang komprehensif, saling berbagi pengalaman dalam proses awal dalam penyusunan dokumen RPPEG. Dengan demikian, dapat dihasilkan dokumen RPPEG yang berkualitas dan dapat bersinergi dengan program-program pengelolaan lahan gambut lainnya yang sudah dijalankan oleh pemerintah baik ditingkat kabupaten, provinsi, dan nasional.

Bimtek yang diselenggarakan selama dua hari tersebut menghadirkan beberapa narasumber utama dari Direktorat Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut – Kementerian LHK, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), serta narasumber ahli dari Universitas Sriwijaya Palembang. Hadir pula berbagai pemangku kepentingan di Provinsi Sumatera Selatan, yakni Bappeda Sumsel, DLHP Sumsel, TRGD Prov Sumsel, berbagai OPD Pemprov Sumsel, OPD Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten OKI, Pokja RPPEG Provinsi Sumsel, Pokja RPPEG Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten OKI, ICRAF Indonesia, dan Forum DAS Sumsel.

Para Narasumber saat pembukaan “Bimbingan Teknis Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) di Provinsi Sumatera Selatan”.

Dalam sambutannya mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Provinsi Sumatera Selatan, Drs.H. Edward Chandra, MH, Kabid Pengendalian Kerusakan dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Drs. Wilman SH, MH, menyampaikan, “Bimtek pada hari ini terselenggara atas kerjasama Dinas Lingkungan Hidup dengan Bappeda Sumsel dan ICRAF Indonesia sebagai tindak lanjut dari rapat sebelumnya di tahun 2021 yang telah menyusun tiga bab utama di dalam dokumen RPPEG. Masih diperlukan penyempurnaan dan kelengkapan dari tiga bab yang sudah tersusun tersebut, khususnya terkait data-data yang belum ter-update dan perlu masukan dari para peserta yang ikut dalam kegiatan hari ini. Selain tiga bab tersebut masih ada dua bab yang perlu disusun juga, yakni terkait strategi dan arahan kebijakan perlindungan dan pengolahan ekosistem gambut, serta program kegiatan dan target perlindungan dan pengolahan ekosistem gambut, dimana kedua bab tersebut sangat tergantung pada tiga bab sebelumnya.”

Ir. Huda Ahsani, MSi, Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut – KLHK, juga mengatakan, “RPPEG adalah sebuah dokumen tertulis yang berisi kondisi potensi didalamnya termasuk permasalahan dan isu strategis sosial masyarakat yang dituangkan kedalam dokumen. Kehadiran kita disini merupakan cermin dari sebuah sinergitas kita, integrasi, dan saling berkomunikasi. Inilah hakekat dari dokumen RPPEG yang kita inginkan. Melalui kegiatan ini kita dapat membangun persepsi yang sama tentang apa itu ekosistem gambut, barangnya seperti apa, kemudian mau diapakan, serta apa potensi didalamnya, sehingga upaya-upaya bersama inilah yang akan kita tuangkan kedalam sebuah dokumen.”

Saat ini Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan sedang berproses dalam penyusunan RPPEG Provinsi. Untuk tingkat kabupaten, Pemerintah Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir juga telah memulai proses awal penyusunan RPPEG. Bimbingan teknis penyusunan ini  diperlukan agar data, informasi, metode dan proses yang digunakan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dan disesuaikan dengan kondisi daerah. 

Sementara itu, Direktur ICRAF Indonesia, Sonya Dewi, menuturkan jika Bimtek ini digelar untuk menyamakan persepsi para multipihak, dalam penyusunan RPPEG Sumsel, agar dokumen yang dihasilkan nanti mengedepankan pengelolaan gambut yang sesuai standar nasional, namun tetap menyesuaikan dengan kondisi daerah. Oleh karena itu, dalam penyusunannya juga didampingi perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pengampu kebijakan juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 246 Tahun 2020 tentang RPPEG Nasional tahun 2020-2049. Tata cara penyusunan, penetapan, dan perubahan telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 60 tahun 2019. Dokumen RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan. Dokumen ini merupakan upaya perlindungan awal bagi lahan gambut dari kerusakan, dan degradasi lahan. Dalam penyusunannya melibatkan berbagai pihak dari level kabupaten, provinsi hingga level nasional.

Kegiatan Bimtek ini dilaksanakan pada tanggal 03-04 Februari 2022, di Hotel Beston, Palembang, secara luring dan daring. (DR)

Author: Dhian Rachmawati
Editor: Tikah Atikah

Bersama Menyatukan Asa Untuk Gambut Lestari

Pemerintah Kabupaten dan Mitra Pembangunan Sumatera Selatan Memulai Proses Penyusunan Dokumen RPPEG

Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) provinsi Sumatera Selatan, memulai proses penyusunan dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) dengan menyelenggarakan Lokakarya Penyadartahuan, pada hari Senin, 02 Agustus 2021, di Hotel Wyndham, Jakabaring, Palembang.
Acara yang dilaksanakan secara luring dan daring ini merupakan langkah awal dalam meningkatkan dan memperkuat pemahaman para pihak tentang urgensi perencanaan ekosistem gambut dan proses yang harus ditempuh dalam menyusun RPPEG pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Melalui lokakarya ini diharapkan akan terhimpun informasi awal mengenai ketersediaan data dan informasi yang relevan dalam penyusunan RPPEG provinsi Sumatera Selatan.
Sebagai media konsultasi para pihak, lokakarya dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan di provinsi Sumatera Selatan, meliputi jajaran UPT Kementerian LHK, OPD Pemprov Sumsel, akademisi, mitra pembangunan, kalangan swasta dan profesional, serta media. Kegiatan ini juga didukung oleh Forum DAS Sumsel, ICRAF Indonesia, dan Balai Penelitian Tanah sebagai bagian upaya #PahlawanGambut di Sumatera Selatan. #PahlawanGambut adalah sebuah gerakan untuk menghimpun pengetahuan, pembelajaran, pemahaman serta berbagai ide terkait pengelolaan gambut berkelanjutan oleh para penggiat, peneliti, pelaku usaha, petani dan generasi muda di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.
Dalam sambutannya mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) provinsi Sumatera Selatan, Kabid Pengendalian Kerusakan dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Drs. Wilman SH, MH, menyampaikan, “Lokakarya ini dilakukan dengan melihat perlunya upaya-upaya pelestarian dan perlindungan ekosistem gambut. Penyusunan upaya pengelolaan ekosistem gambut Sumsel ini disusun untuk 30 tahun kedepan, 2020-2049, dengan mengacu kepada Kepmen LHK, untuk mendukung RPPEG Nasional. Selain itu upaya lainnya juga dilakukan guna pemanfaatan, perlindungan dan pendayagunaan ekosistem gambut, serta adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim yang terjadi. Sehingga wawasan kita akan terbuka secara jelas betapa pentingnya ekosistem lahan gambut di Sumatra Selatan.”

Penyusunan dokumen RPPEG merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

PP tersebut memberikan mandat kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk menyusun dan menetapkan RPPEG sesuai kewenangannya. Meliputi RPPEG nasional oleh Menteri, RPPEG provinsi oleh Gubernur, dan RPPEG kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota.

Menurut Kasubdit Perencanaan Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK, Ir. Huda Achsani, “Sumatera Selatan sudah melaksanakan fungsi pengelolaan dan perlindungan gambut, namun dari keseluruhan itu, selain tindakan yang cepat dan praktis di lapangan kita perlu menyusun dokumen (RPPEG) sebagai landasan yang komprehensif, yang dapat digunakan sebagai landasan bagi RPJP, RPJMD, RTRW, RKTN, dan rencana strategis atau sektoral lainnya, baik di level pusat”.

Lebih lanjut Huda Achsani juga menuturkan bahwa dokumen RPPEG juga berisi kondisi potensi dan permasalahan di Sumsel, menarik isu strategis, data, serta informasi pendukung melalui data spasial, untuk merumuskan program, kegiatan dan target capaian secara detil. Sehingga siapapun yang berkepentingan untuk mengelola ekosistem gambut akan terarah, sistematis dan terpadu. Untuk itu, perlu adanya sinergitas satu dengan yang lain secara utuh, baik ekologis, ekonomis dan sosial.

Sejatinya, RPPEG merupakan sebuah dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah ekosistem gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. RPPEG merupakan sebuah upaya corrective action dalam pengelolaan ekosistem gambut (http://pkgppkl.menlhk.go.id/). RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan (2020-2049). Dokumen ini merupakan upaya perlindungan awal bagi lahan gambut dari kerusakan, dan degradasi lahan. Dalam penyusunannya, harus dilakukan secara komprehensif dan teliti, dengan melibatkan berbagai pihak dari level kabupaten, provinsi hingga level nasional.

Sumatera Selatan merupakan provinsi dengan salah satu ekosistem gambut yang terluas di pulau Sumatera setelah provinsi Riau. Namun saat ini ekosistem gambut tersebut berada dalam kondisi yang membutuhkan upaya pengelolaan dan pemulihan menyeluruh, sehingga Sumatera Selatan masuk sebagai salah satu provinsi prioritas restorasi gambut. Oleh karenanya, hadirnya RPPEG diharapkan mampu mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut terhadap ekosistem gambut dan menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut untuk sekarang dan masa yang akan datang di Sumatera Selatan, dan dapat diikuti oleh beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki wilayah bergambut. (DR)

RPPEG dan Langkah Menuju Pelestarian Gambut di Kabupaten Kubu Raya

Apa itu RPPEG?

  • Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut atau RPPEG adalah sebuah dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah ekosistem gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. RPPEG merupakan sebuah upaya corrective action dalam pengelolaan ekosistem gambut (http://pkgppkl.menlhk.go.id/v0).
  • Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Fungsi Ekosistem Gambut dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum (PP. Nomor 71 Tahun 2014, pasal 1).
  • RPPEG merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP tersebut memberikan mandat kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk menyusun dan menetapkan RPPEG sesuai kewenangannya. Meliputi RPPEG nasional oleh Menteri, RPPEG Provinsi oleh Gubernur, dan RPPEG kabupaten/kota oleh Bupati/ Walikota.
  • Penyusunan dokumen RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan yaitu 2020 – 2049, dengan mengacu pada Kepmen LHK No. 246 Tahun 2020 tentang Rencana Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional Tahun 2020- 2049.
  • Dokumen RPPEG berisi analisa dan rekomendasi terhadap berbagai bentuk pengelolaan ekosistem gambut ideal, yang kemudian dirangkum dalam dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tingkat provinsi dan kabupaten.

Mengapa diperlukan?

  • RPPEG diharapkan mampu mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut melalui tata kelola ekosistem gambut yang baik.
  • Dokumen RPPEG merupakan upaya perlindungan awal lahan gambut dari kerusakan, dan degradasi lahan. Ketika lahan gambut tropis dikeringkan akan terjadi penurunan lima sentimeter profil per tahun dan regenerasi akan terjadi luar biasa lambat, dengan laju satu atau dua milimeter per tahun.
  • Dokumen RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan. Oleh karena  itu, proses penyusunannya harus komprehensif dan teliti, serta melibatkan multi pihak dari level kabupaten, provinsi hingga level nasional.
  • Materi dan muatan RPPEG mencakup pemanfaatan Ekosistem Gambut, pengendalian Ekosistem Gambut, pemeliharaan Ekosistem Gambut, serta adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Gambar 1. Peta Sebaran Gambut Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat: Fungsi Ekosistem Gambut dan Sebaran Ketebalan Gambut

Apa pentingnya untuk Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Kubu Raya?

  • RPPEG diharapkan dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Kubu Raya, untuk sekarang dan masa yang akan datang.
  • Ekosistem Gambut di Provinsi Kalimantan Barat tersebar pada 124 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dengan luas yang cukup besar yaitu 2,8 juta hektar (ha). Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan gambut terluas no.4 di Indonesia, setelah Papua, Riau, dan Kalimantan Tengah.
  • Berdasarkan fungsi peruntukannya lahan gambut di Kalimantan Barat dibedakan ke dalam lahan gambut dengan fungsi budidaya dan fungsi lindung. Dari 124 KHG yang ada di Kalimantan Barat luas lahan gambut dengan fungsi lindung adalah 210.997 ha (9%), sedangkan lahan gambut dengan fungsi budidaya seluas 2.033.323 (91%). Sementara itu, pada 16 KHG Prioritas di Provinsi Kalimantan Barat, terdiri dari ekosistem gambut dengan fungsi lindung seluas 107.794 ha (13%), kawasan budidaya 695.744 ha (87%). Kondisi ini mencerminkan bahwa dari segi tata kelola (kebijakan) ekosistem gambut di Provinsi Kalimantan Barat diarahkan untuk menunjang aktivitas ekonomi. Kebijakan ini mendorong peningkatan pemanfaatan lahan gambut secara intensif untuk usaha pertanian, kehutanan dan perkebunan, baik yang dilakukan oleh pemegang izin maupun oleh masyarakat.
  • Hutan rawa/gambut tersebar di 12 kabupaten/kota (dari 14 kabupaten/kota) yang ada di Provinsi Kalimantan. Tiga kabupaten yang mempunyai hutan rawa/gambut yang terluas adalah Kabupaten Kapuas Hulu seluas 379.909,69 ha (30.42 %), terluas kedua adalah Kabupaten Ketapang yaitu 304.865.39 ha (24.41%), dan terluas ketiga adalah Kabupaten Kubu Raya, dengan luasan 282.671,35 ha (22.64%). Karakteristik hutan rawa/ gambut yang terluas di Kabupaten Kubu Raya adalah hutan rawa/ gambut sekunder kerapatan tinggi, yaitu seluas 89.444,03 ha. Hal ini menunjukkan bahwa potensi gambut di Kabupaten Kubu Raya sangatlah besar.
  • Provinsi Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan luas lahan terbakar cukup signifikan di tahun 2015, yaitu mencapai 167.691 ha, dengan area gambut terbakar seluas 74.858 ha. Sejumlah 29.083 ha gambut diantaranya berada di kawasan Hutan dan APL, dan 2.833 ha berada di kawasan konsesi/perizinan. Peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut ini menyebabkan Provinsi Kalimantan Barat sebagai salah satu provinsi yang menjadi target restorasi gambut dari pemerintah Indonesia melalui Badan Restorasi Gambut (BRG).
  • Lokasi kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Barat terjadi di 31 KHG dengan luasan bervariasi. Dari 31 area KHG yang terbakar sebanyak tujuh KHG berada di Kabupaten Kubu Raya, menjadikan Kubu Raya sebagai Kabupaten dengan area terbakar paling luas. Ke-tujuh area KHG di Kubu Raya tersebut semuanya termasuk dalam 16 KHG yang menjadi area prioritas restorasi BRG, dengan area terluas berada pada KHG Sungai Penyangkat – Sungai Selat Maya, KHG Sungai Durian – Sungai Labai, KHG Sungai Ambawang-Sungai Kubu sebesar, Sungai Kapuas – Sungai Ambawang.
  • Luas total lahan gambut Kabupaten Kubu Raya adalah 342.984 ha atau sekitar 60 % dari luas wilayah, yang terdiri dari gambut dangkal seluas 171.376 ha, gambut sedang seluas 38.954 ha, gambut dalam seluas 49.621 ha, dan gambut sangat dalam seluas 83.013 ha.
  • Lahan gambut sudah lama digunakan untuk pertanian dan menjadi sumber penghidupan masyarakat. Masyarakat telah secara turun temurun hidup diatas lahan gambut dengan berbagai bentuk pertanian yang dikelola, khususnya tanaman sayuran, pangan, buah-buahan, dan perkebunan. Pengelolaan usaha tani yang dilakukan cukup beragam mulai dari pola berladang secara tradisional sampai pada pola usaha tani menetap dengan tujuan komersial.
  • Kebakaran lahan gambut berulang kali terjadi di wilayah Kabupaten Kubu Raya, dan telah menjalar ke area pemukiman yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat. Sebagai contoh, peristiwa kebakaran pada bulan Februari 2021, api dari kebakaran lahan gambut di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, bahkan menjalar ke bangunan SMKN 01 Sungai Raya, dan menyebabkan dua ruangan SMKN hangus terbakar. Di bulan yang sama kebakaran lahan gambut juga mendekati atau mengancam perumahan penduduk di Desa Limbung Kecamatan, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya.
  • Degradasi ekosistem lahan gambut terjadi karena faktor pengelolaan lahan gambut yang kurang memperhatikan ekosistem karakteristik lahan dan keberlanjutan. Sehingga kerusakan ekosistem lahan gambut tidak terelakan dan berdampak pada terganggunya fungsi hidrologis gambut, fungsi ekologi (areal hutan gambut tropis memiliki sumber kekayaan flora dan fauna yang cukup tinggi), serta kerugian sosial ekonomi.
  • Terdapat beberapa faktor penyebab dan permasalahan kerusakan lahan gambut, yakni: tata kelola lahan (merupakan aspek mendasar penyebab kerusakan ekosistem gambut), perubahan penggunaan lahan, dan kurangnya pemahaman terhadap karakteristik lahan gambut.
  • Lebih jauh, kerusakan gambut dapat memberikan efek lanjutan terhadap sosial ekonomi berupa: (1) gangguan kesehatan, (2) kerugian ekonomi dalam jumlah besar dan (3) terganggunya berbagai aktivitas masyarakat, serta (4) kematian akibat gangguan pernapasan. Dampak dari asap yang ditimbulkan dari kebakaran gambut dapat menyebabkan penyakit gangguan pernafasan akut dalam waktu yang lama, sehingga dapat menyebabkan kematian.
  • Kerusakan ekosistem gambut merupakan isu strategis yang disebabkan oleh beberapa factor, antara lain: 1) lahan gambut yang cukup luas di Provinsi Kalimantan Barat, 2) ketergantungan perekonomian pada sektor pertanian, dan 3) dampak kerusakan ekosistem gambut yang berdimensi luas.
  • Kerusakan ekosistem gambut, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga turun sampai ketingkat terendah pemerintahan, yaitu kabupaten. Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) di tingkat nasional telah memandatkan kepada daerah atau pemerintah provinsi untuk menyusun dokumen ini, yang kemudian akan diturunkan ke kabupaten/kota yang memiliki ekosistem Gambut.
  • Pelibatan para pemangku kepentingan dalam penyusunan dokumen RPPEG adalah wajib dan harus dilakukan bersama para pemangku Kepentingan. Diantaranya BRGM, TRGD, Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, KPH, Perusahaan, Akademisi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (DPUPR) yang kewenangannya di level provinsi maupun di level kabupaten.

Bagaimana Prosesnya?

  • RPPEG Provinsi Kalimantan Barat dibuat dengan mengacu pada RPPEG nasional dan Peraturan Menteri No. 60 Tahun 2019. Selanjutnya diikuti oleh RPPEG kabupaten Kubu Raya yang dibuat dengan mengacu pada RPPEG Provinsi Kalimantan barat dan Keputusan Gubernur yang memayungi RPPEG Provinsi apabila sudah diselesaikan.
  • Proses penyusunan dokumen RPPEG di Kabupaten Kubu Raya dimulai dengan melaksanakan diskusi terpumpun dan lokakarya yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (multistakeholder), untuk mendapatkan berbagai saran dan masukan dalam rangka melakukan penyusunan dokumen RPPEG.
  • Penyusunan Tim RPPEG juga merupakan proses yang diharapkan dapat mengintegrasikan parapihak dalam penyusunan RPPEG Kabupaten Kubu Raya secara partisipatif dan transparan.
  • FGD / Lokakarya juga dimaksudkan untuk melakukan perumusan dokumen RPPEG sebagai upaya perbaikan tatakelola kawasan ekosistem gambut dan perlindungannya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Kubu Raya.
  • Dalam tahapan perencanaan, langkah pertama yang dilakukan dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut adalah inventarisasi ekosistem gambut yang diikuti dengan penetapan fungsi ekosistem gambut menjadi fungsi lindung ekosistem gambut dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Peta fungsi ekosistem gambut dan kondisi eksisting pemanfaatan ekosistem gambut akan memberikan implikasi dan permasalahan yang dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan ekosistem gambut yang dilakukan oleh berbagai sektor, daerah dan masyarakat.
  • Di dalam isinya, Dokumen Rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut harus bisa mengakomodasi berbagai kepentingan (sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan tetap memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat, perubahan iklim, dan rencana tata ruang wilayah untuk menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut yang dapat menunjang kehidupan baik generasi sekarang maupun generasi yang datang.

Legal Formal RPPEG

  • RPPEG mengarahkan agar perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dilakukan secara sistematis, harmonis, dan sinergis dengan berbagai perencanaan pembangunan lainnya, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), dan rencana strategis atau sektoral lainnya, baik di level pusat maupun daerah.
  • Dokumen RPPEG provinsi akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur, dan Dokumen RPPEG kabupaten akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota, yang selanjutnya menjadi rujukan bersama multipihak dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
  • Gubernur menetapkan RPPEG provinsi paling lambat 2 (dua) tahun sejak RPPEG nasional ditetapkan. Bupati/Walikota menetapkan RPPEG kabupaten/kota paling lambat 2 (dua) tahun sejak RPPEG provinsi ditetapkan (Permen No. 60 / 2019, pasal 34).
  • Rencana Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional Tahun 2020-2049, telah ditetapkan berdasarkan Kepmen LHK No. 246 Tahun 2020.

Disarikan dari berbagai sumber: