Strategi Peningkatan Harga Jual Biji Kopi di Tingkat Petani: Melalui Pemanenan dan Penanganan Pasca Panen yang Efektif
Peminat kopi di Indonesia semakin meningkat. Hal ini berdampak pada meningkatnya kuantitas dan kualitas permintaan pasar kopi. Kualitas yang dihasilkan oleh petani kopi berpengaruh terhadap harga jual biji kopi, yang dipengaruhi oleh cara budidaya, pemanenan dan penanganan pasca panen khususnya tanaman kopi di lahan gambut.
Di desa-desa yang berada di ekosistem gambut seperti Desa Pasak dan Bengkarek, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, harga kopi beras (green beans) kering mencapai Rp 40.000, nilai yang cukup rendah karena dilakukan tanpa pemilahan kualitas. Pemanenan umumnya dilakukan dengan metode petik pelangi, memanen buah merah, kuning, dan hijau bersamaan.
ICRAF bekerja sama dengan 101 Coffee House melalui proyek Peat-IMPACTS, menyelenggarakan pelatihan pemanenan dan penanganan pasca panen kopi. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas biji kopi dan memastikan bahwa harga jualnya sesuai dengan kualitas yang diperoleh melalui praktik terbaik dalam pemanenan dan penanganan pasca panen.
Pemahaman mengenai anatomi, struktur kimia, kandungan nutrisi dan mutu kopi serta metode pengolahan buah kopi menjadi biji kopi disampaikan dalam pelatihan. Penekanan khusus diberikan pada teknik petik merah untuk memastikan kualitas kopi yang optimal. Peserta juga terlibat dalam praktik pemilahan biji berdasarkan indikator kualitas seperti biji berlubang, berwarna hitam, pecah, dan kerusakan lainnya. Selain itu juga membahas indikator penting lainnya, seperti densitas (berat/volume) dan kadar air, sebagai kunci untuk mengukur kualitas biji kopi secara menyeluruh.
Restu Darmawan, narasumber dari 101 Coffee House menyampaikan bahwa untuk memperoleh harga sesuai kualitas, petani harus menerapkan metode pemilahan, juga perbaikan cara budidaya dan pemanenan, karena jumlah biji cacat akan berkurang.
Lebih lanjut, Restu Darmawan menyampaikan bahwa proses penanganan pasca panen kopi bisa berbeda antar desa, tergantung ketersediaan air bersih. Apabila air bersih terbatas, dianjurkan tidak menggunakan metode full wash (cara basah). Di Desa Pasak dan Bengkarek umumnya petani menerapkan metode honey process, dan sebagian dengan natural process (cara kering).
Di Desa Pasak, pelatihan dihadiri oleh 42 peserta, terdiri dari 11 perempuan dan 31 laki-laki. Sementara itu, di Desa Bengkarek, 22 peserta turut serta, dengan 10 perempuan dan 12 laki-laki. Keaktifan terlihat dari seluruh peserta yang mengikuti pelatihan ini, dan mereka merasakan manfaat nyata dari pengalaman yang mereka terima.
Oleh: Nurhayatun Nafsiyah