Top
 

Peneliti Muda Gambut Sumatera Selatan: Belajar Menjadi #PahlawanGambut Sesungguhnya

Peat IMPACTS Indonesia adalah program riset-aksi yang mendukung perwujudan dan pengelolaan gambut berkelanjutan, melalui penguatan kapasitas teknis dan kelembagaan serta penyelarasan peran antara sektor publik dan swasta. Peat IMPACTS diselenggarakan di dua provinsi di Indonesia, yakni Sumatera Selatan, di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin, dan Kalimantan Barat di Kabupaten Kubu Raya. Melalui program Inkubator Peneliti Muda Gambut (IPMG) yang mengusung semangat #PahlawanGambut, ICRAF Indonesia mengajak seluruh pemuda dan pemudi lulusan berbagai perguruan tinggi di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat untuk ikut berperan dalam menjaga keberlangsungan ekosistem di lahan gambut. #PahlawanGambut adalah sebuah gerakan untuk menghimpun pengetahuan, pembelajaran, pemahaman serta berbagai ide terkait pengelolaan gambut berkelanjutan oleh para penggiat, peneliti, pelaku usaha, petani dan generasi muda di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Di Sumatera Selatan, program Peat-IMPACTS Indonesia berfokus di desa-desa yang berada di dua kabupaten, yakni Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kabupaten Banyuasin.

Inkubator Peneliti Muda Gambut (IPMG)

Peat IMPACTS telah mengikutsertakan 50 putra-putri terbaik Sumatera Selatan kedalam program Inkubator Peneliti Muda Gambut (IPMG). Di dalam IPMG, tahapan awal yang harus dilalui sebelum menjadi seorang #PahlawanGambut adalah proses seleksi, yang meliputi proses administrasi, pemenuhan persyaratan, penulisan esai, serta tahap wawancara mendalam untuk menyampaikan persepsinya terhadap kehidupan di lahan gambut, isu-isu lingkungan terkait lahan gambut, dan menjelaskan secara singkat mengenai esai yang telah ditulis.

Menariknya, meskipun mengangkat tema mengenai lahan gambut, program IPMG tidak hanya memberi kesempatan kepada lulusan dengan kelompok keilmuan pertanian atau keilmuan yang terkait dengan konteks lahan gambut saja. ICRAF Indonesia memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh putra-putri terbaik lulusan perguruan tinggi dari berbagai kelompok keilmuan, untuk turut berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan ekosistem di lahan gambut sebagai Peneliti Muda Gambut (PMG).

Setelah lulus tahap seleksi, para-PMG kemudian mengikuti proses Masa Inkubasi. Tahap ini merupakan proses pembekalan yang meliputi kegiatan pendalaman materi dan penguatan kapasitas pengetahuan PMG. Para pemateri terdiri dari para pakar/ahli di bidangnya, dosen, dan peneliti senior ICRAF. Masa inkubasi berlangsung selama satu bulan, secara daring. Para PMG memperoleh pembekalan materi dengan tema yang berbeda setiap harinya, dari pagi hingga sore hari.

Usai masa inkubasi, para-PMG kemudian melakukan kegiatan uji coba selama 5 hari di beberapa desa gambut di Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Pada proses uji coba ini, tim PMG dibagi kedalam tim-tim kecil untuk melaksanakan FGD dan wawancara bersama masyarakat. Ujicoba ini sangat penting untuk mengasah kemampuan dalam berkoordinasi sesama tim, dengan perangkat desa, dan juga proses penggalian data. Proses uji coba berjalan dengan lancar dan baik, juga menjadi lebih mudah dan cepat karena didukung dengan tools seperti Kobotoolbox untuk mengirim dan mengumpulkan data hasil FGD maupun wawancara.

Setelah proses uji coba selesai dan PMG dinilai telah siap untuk turun langsung kelapangan, para -PMG diajak untuk melakukan kegiatan “Aksi Lapang” untuk penggalian informasi dan penyusunan Peta Jalan Gambut Lestari di 34 desa yang berada dalam ekosistem gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin. Selama kurang lebih 3 bulan, para peneliti muda ini menjalankan kegiatan lapangan untuk menghasilkan gambaran atau profil dari masing-masing desa yang dikunjungi. Mereka berinteraksi dengan petani gambut serta para penggiat gambut untuk mengungkap berbagai pengetahuan, pembelajaran, dan opsi intervensi untuk pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan di Sumatera Selat. Pada kegiatan ini para-PMG dibagi kedalam 4 tim besar. Tim tersebut dikelompokkan berdasarkan tools penggalian data yang mereka gunakan untuk riset di lapangan, yakni, Listra-Ligots, AFLIC-LUCBI, SUTA, dan IBUSS.

Melalui kegiatan riset langsung dilapangan, para-PMG mendapatkan berbagai temuan, pelajaran, pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan masyarakat di lahan gambut. Masyarakat di desa-desa yang dikunjungi umumnya menggantungkan sumber kehidupannya dengan bertani sawah, berkebun karet dan sawit, maupun jenis pertanian agroforestri lainnya. Ada juga yang beternak dan membudidayakan ikan sebagai mata pencahariannya. Sebagian besar masyarakat masih mengelola pertaniannya secara tradisional, karena kurangnya alat bantu pertanian yang modern.

Dari hasil riset para-PMG, dapat diketahui begitu banyak kendala yang dihadapi masyarakat dalam melaksanakan aktifitas perekonomiannya di lahan gambut, meskipun mereka memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang unggul karena hampir semua lahan dikelola dan dimiliki masyarakat. Sebagian desa juga telah memiliki modal fisik berupa sarana prasarana yang cukup baik. Namun modal sosial, Sumber Daya Manusia (SDM) dan keuangan masih cenderung rendah. Hal tersebut disebabkan belum adanya pelatihan usaha dan penyuluhan yang memadai, serta akses informasi pertanian yang terbatas. Akses terhadap keuangan juga masih banyak mengalami kesulitan.

Rangkaian proses kegiatan IPMG kemudian ditutup dengan kegiatan “Tugas Akhir” berupa tugas menulis dan berbagi (Seminar dan Dialog Publik). Tugas ini ditujukan sebagai sarana pengalaman dan pembelajaran bagi mereka untuk menyajikan hasil penelitian dalam produk publikasi untuk masyarakat luas dan pemangku kepentingan. Para-PMG juga dapat memperoleh pengalaman dan pembelajaran untuk berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan audiens dan penerima manfaat.

PMG Terbaik

Di akhir kegiatan IPMG, ICRAF melakukan proses seleksi untuk memilih dua orang PMG terbaik, untuk tergabung menjadi staff ICRAF di Kantor Sumatera Selatan sebagai Landscape Facilitator dan Livelihood Facilitator. Proses seleksi dilakukan dalam beberapa tahap: (1) Penilaian kinerja dan prestasi; (2) Penentuan calon kandidat; (3) dan Wawancara Panel. Penilaian Kinerja dan Prestasi dilakukan dengan mengakumulasikan nilai prestasi selama fase inkubasi, tugas lapang dan tugas akhir. Untuk fase tugas lapang dan tugas akhir, supervisor melakukan penilaian dengan mengunakan instrument yang telah disiapkan. Penentuan calon kandidat dilakukan berdasarkan hasil penilaian kinerja dan prestasi, serta hasil musyawarah supervisor PMG. (DR, JH, AP)

Melangkah Bersama Menuju Desa Gambut Lestari di Kabupaten Banyuasin

ICRAF Indonesia bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Banyuasin, telah menyelenggarakan kegiatan Lokakarya Menuju Desa Gambut Lestari di Kabupaten Banyuasin pada tanggal 27 September 2021. Acara yang dilaksanakan secara luring dan daring ini menjadi muara dari berbagai hasil kajian lapang yang telah dilaksanakan oleh para Peneliti Muda Gambut (PMG) Sumatera Selatan yang merupakan bagian dari #PahlawanGambut.

Temuan-temuan dari kajian lapang telah dirangkum menjadi sebuah dokumen berjudul “Peta Jalan Gambut Lestari” yang disampaikan ke 34 desa yang sebelumnya telah dikunjungi oleh PMG. Melalui lokakarya ini, dokumen tersebut dibahas bersama para pemangku kepentingan dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten, untuk mendapatkan masukan bagi langkah pengelolaan lahan gambut lestari di desa-desa pada Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Saleh-Sugihan dan Sugihan-Sungai Lumpur yang sebagian berada di Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten OKI.

Hadir dalam kegiatan lokakarya, Ketua TRGD Sumatera Selatan, Ir Dharna Dahlan, MM; Kabid Pembangunan Kawasan Perdesaan DPMD Kabupaten Banyuasin, HM Yasir Darojat SH, MM; Camat Muara Sugihan, Welly Ardiansyah SIP; Camat Muara Padang, Bahrum Rangkuti, SSTP, MSi; Camat Rambutan, Murshal SHi, MH; Koordinator PEAT Impacts-ICRAF Indonesia, Feri Johana  dan perwakilan ke-14 desa dari tiga kecamatan di Kabupaten Banyuasin. Dalam sambutan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Pembangunan Kawasan Perdesaan, DPMD Kabupaten Banyuasin, H.M. Yasir Darojat SH, MM, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Banyuasin, Roni Utama, AP, M.Si mengatakan, “Momentum ini sangat tepat bukan hanya sebagai seremonial dalam rangka mencapai target program, tetapi diharapkan dapat menghasilkan instrumen untuk perlindungan, pelestarian dan pengelolaan ekosistem gambut. Anugerah kekayaan alam yang dimiliki Kab. Banyuasin harus dikembangkan dan dilestarikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, kami mendorong desa dan kepala desa yang wilayahnya menjadi fokus program pengelolaan gambut ini, agar dapat mengintegrasikannya kedalam program pembangunan desa baik kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa”.

Koordinator Program Peat-IMPACTS Indonesia, Feri Johana, dalam sambutannya juga menyatakan bahwa berbagai temuan dan rekomendasi yang dihasilkan dari kegiatan kajian lapang ini perlu mendapat koreksi dan masukan dari parapihak ditingkat desa, sehingga diharapkan nantinya dokumen peta jalan ini benar-benar menggambarkan kondisi dan strategi yang diharapkan. Peta jalan ini diharapkan pula menjadi milik masyarakat masing-masing desa dan diharapkan menjadi bagian penting dalam penyusunan RPJM Desa dan berbagai musyawarah pembangunan desa yang lain.

Sementara itu, Camat Muara Sugihan, Muara Padang, dan Rambutan yang hadir dalam kegiatan, menyampaikan harapannya agar hadirnya ICRAF Indonesia melalui program Peat-IMPACTS turut mendukung peningkatan ekonomi masyarakat desa, serta terjalinnya kerjasama yang baik antara tim yang ada di lapangan dengan pemerintahan desa dan kecamatan. Selain itu, agar adanya sinkronisasi dan integrasi dengan program pengelolaan gambut yang sudah ada sebelumnya.

Dokumen Peta Jalan Gambut Lestari yang disajikan dan dibahas dalam kegiatan ini merupakan kumpulan data, informasi dan Analisa yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pengelolaan dan restorasi gambut pada desa-desa di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) Saleh-Sugihan dan Sugihan-Sungai Lumpur. Proses penyusunan dilaksanakan secara bertahap dan melibatkan berbagai pihak di desa, melalui wawancara, survei rumah tangga, maupun diskusi kelompok terpumpun. Analisis data kemudian dilakukan di tingkat desa.

Dokumen Peta Jalan Gambut Lestari tersebut disusun dengan alat bantu ALLIR (Assessment of Livelihoods and Landscapes to Increase Resilience) atau ‘Penilaian Modal Penghidupan dan Bentang Lahan untuk Meningkatkan Resiliensi’. ICRAF melalui Peat-IMPACTS juga akan menindaklanjuti dokumen Peta Jalan Gambut Lestari melalui berbagai kegiatan di tingkat desa. Koordinator Paket Kerja-3 Peat IMPACTS, Dr. Gerhard Manurung menyampaikan: “Akan ada 6 desa yang dipilih sebagai desa pilot dengan berbagai model bisnis yang ditawarkan, yakni 1) Pengembangan padi ramah lingkungan dengan penyiapan lahan tanpa bakar dan penggunaan pupuk organic; 2) Pengembangan Agro-silvo-pasto-fishery dalam sistem usaha tani paludikultur; 3) Pemanfaatan HHBK Madu; 4) Pengkayaan jenis pada kebun sawit monokultur dengan tumpang sari; sawit – (jahe/kunyit/pinang); 5) Agroforestri karet melalui pengkayaan dengan jenis tanaman semusim dan pohon buah-buahan; 6) Pengembangan agroforestry dengan jenis tanaman yang tidak disukai gajah untuk mitigasi konflik manusia – gajah.

Langkah Awal Mewujudkan Gambut Lestari di Kabupaten Banyuasin

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, memulai proses penyusunan dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) dengan menyelenggarakan “Lokakarya Pendahuluan Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Kabupaten Banyuasin”, pada Jumát, 24 September 2021, di Hotel Beston, Palembang.

Lokakarya yang dilaksanakan secara luring dan daring ini merupakan langkah awal Pemerintah Kabupaten Banyuasin untuk membangun komitmen dan rencana dalam penyusunan RPPEG Kabupaten Banyuasin, dalam upaya pelestarian lahan gambut di Sumatera Selatan.

Kegiatan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan di Kabupaten Banyuasin, khususnya yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan ekosistem gambut. Lokakarya ini juga dimaksudkan untuk memperkenalkan komitmen dan rencana dalam penyusunan RPPEG Kabupaten Banyuasin, serta mendapatkan masukan terkait Tim Pokja dan proses penyusunan RPPEG yang akan dilaksanakan oleh Kabupaten Banyuasin. Harapannya, para pemangku kepentingan dapat memahami prosedur penyusunan RPPEG di tingkat kabupaten yang menjadi dasar dalam proses implementasi penyusunan RPPEG Kabupaten Banyuasin.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan saat ini sedang berproses dalam penyusunan RPPEG Provinsi. Sebagai salah satu kabupaten yang sangat memperhatikan pengelolaan gambut, Pemerintah Kabupaten Banyuasin juga akan memulai proses penyusunan RPPEG tingkat kabupaten. Pertemuan dalam bentuk lokakarya pendahuluan penyusunan RPPEG ini merupakan langkah persiapan dan kelanjutan dari proses penyusunan RPPEG Provinsi Sumatera Selatan.

Dalam sambutannya, Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuasin, Dr. H. Muhammad Senen Har, SIP, MSi, menyampaikan, “Kegiatan yang direncanakan ini (Penyusunan RPPEG) adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Banyuasin disekitar lahan gambut. Masyarakat harus dijadikan sebagai subjek, bukan objek, untuk pemeliharaan dan pengelolaan gambut di Kabupaten Banyuasin. Harapannya penyusunan RPPEG ini nantinya dapat memberikan kontribusi besar untuk mewujudkan Banyuasin yang bangkit, adil dan sejahtera.”

Kepala Bappeda Kabupaten Banyuasin, Ir. H. Kosarudin, MSi, dalam sambutannya juga mengatakan “Salah satu tujuan lokakarya ini adalah dirumuskannya POKJA Penyusunan RPPEG Kabupaten Banyuasin. Pertemuan yang dihadiri para pihak di Kabupaten Banyuasin ini merupakan proses awal dimulainya persiapan secara intensif. Diharapkan akan terkumpulnya masukan baik dari sudut pandang OPD yang bersangkutan maupun dari keilmuan masing-masing, serta partisipasi aktif dan dukungan dalam proses penyusunan RPPEG sebagai upaya pelestarian dan pemanfaatan gambut yang berkelanjutan di Kabupaten Banyuasin. Selain itu, sebagai rangkaian dari proses pembangunan di Kabupaten Banyuasin, diharapkan proses penyusunan RPPEG ini dapat bersinergi dengan program- program pengelolaan lahan gambut lainnya yang sudah dijalankan oleh pemerintah kabupaten maupun provinsi.”

Sebagai wahana pertemuan para pihak, lokakarya ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, meliputi Sekda Kabupaten Banyuasin, jajaran UPT Kementerian LHK, BRGM, DLHP Pemprov Sumatera Selatan, OPD Kabupaten Banyuasin, akademisi, mitra pembangunan, kalangan swasta dan profesional, serta media. Kegiatan ini didukung oleh ICRAF Indonesia, Forum DAS Sumatera Selatan, dan Balai Penelitian Tanah sebagi bagian upaya #PahlawanGambut di Sumatera Selatan. #PahlawanGambut adalah sebuah gerakan untuk menghimpun pengetahuan, pembelajaran, pemahaman serta berbagai ide terkait pengelolaan gambut berkelanjutan oleh para penggiat, peneliti, pelaku usaha, petani dan
generasi muda di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. (DR)

Komitmen Kubu Raya Membangun Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, memulai proses persiapan penyusunan dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) dengan menyelenggarakan “Lokakarya Gambut Lestari Melalui Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Kabupaten Kubu Raya”, pada Kamis, 02 September 2021, di Qubu Resort, Jalan A. Yani 2 Kubu Raya.


Lokakarya yang dilaksanakan secara luring dan daring ini merupakan langkah awal Pemerintah Kabupaten Kubu Raya untuk membangun komitmen dan rencana dalam penyusunan RPPEG Kabupaten Kubu Raya dalam upaya pelestarian lahan gambut di Kalimantan Barat. Kegiatan ini juga ditujukan untuk mempertemukan parapihak, sekaligus mendapatkan masukan dan arahan terkait penyusunan Pokja RPPEG Kabupaten Kubu Raya. PemKab Kubu Raya mengharapkan bahwa kegiatan ini dapat menjadi sarana peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan terkait.


Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat saat ini sedang menyusun RPPEG Provinsi, dan diharapkan segera selesai agar dapat menjadi acuan dalam penyusunan RPPEG Kabupaten. Salah satunya adalah untuk Kabupaten Kubu Raya, yang merupakan salah satu kabupaten dengan ekosistem gambut terluas dengan wilayah kelola lahan gambutnya sebesar 60%, setelah Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Ketapang. Ekosistem gambut Kubu Raya saat ini membutuhkan upaya pemulihan dan pengelolaan yang lebih baik, sehingga Kabupaten Kubu Raya termasuk salah satu area prioritas restorasi gambut. Dalam pernyataannya, Kepala Bappeda Kabupaten Kubu Raya, Drs. Amini Maros, M.Si, menyampaikan bahwa “Pertemuan awal yang mempertemukan para pihak di Kabupaten Kubu Raya ini dirasakan sangat penting sebagai titik awal dimulainya proses persiapan secara intensif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Kedepannya, diharapkan muncul partisipasi dan dukungan secara aktif dari para pihak yang hadir untuk penyusunan RPPEG sebagai upaya pelestarian dan pemanfaatan gambut yang berkelanjutan di Kabupaten Kubu Raya.”

Dalam pernyataannya, Kepala Bappeda Kabupaten Kubu Raya, Drs. Amini Maros, M.Si, menyampaikan bahwa “Pertemuan awal yang mempertemukan para pihak di Kabupaten Kubu Raya ini dirasakan sangat penting sebagai titik awal dimulainya proses persiapan secara intensif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Kedepannya, diharapkan muncul partisipasi dan dukungan secara aktif dari para pihak yang hadir untuk penyusunan RPPEG sebagai upaya pelestarian dan pemanfaatan gambut yang berkelanjutan di Kabupaten Kubu Raya.”

Penyusunan dokumen RPPEG merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP tersebut mewajibkan Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk menyusun dan menetapkan RPPEG sesuai kewenangannya. Meliputi RPPEG nasional oleh Menteri, RPPEG provinsi oleh Gubernur, dan RPPEG kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota. Dokumen RPPEG sendiri memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan. Dokumen ini merupakan upaya perlindungan awal bagi lahan gambut dari kerusakan, dan degradasi lahan. Dalam penyusunannya, harus dilakukan secara komprehensif dan teliti, dengan melibatkan berbagai pihak dari level kabupaten, provinsi hingga level nasional.

Hadirnya RPPEG diharapkan mampu mendorong pemanfaatan gambut yang lebih baik bagi masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya kerusakan dan menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut di Kabupaten Kubu Raya untuk sekarang dan masa yang akan datang.

Workshop ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, meliputi jajaran UPT Kementerian LHK, BRGM, DLHK Pemprov Kalimantan Barat, OPD Kabupaten Kubu Raya, akademisi, mitra pembangunan, kalangan swasta dan profesional, serta media, dan didukung oleh ICRAF Indonesia, dan Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian. Kegiatan ini juga merupakan upaya #PahlawanGambut di Kalimantan Barat, khususnya Kubu Raya. Melalui kegiatan Peat-IMPACTS Indonesia, #PahlawanGambut adalah sebuah gerakan untuk menghimpun pengetahuan, pembelajaran, pemahaman serta berbagai ide terkait pengelolaan gambut berkelanjutan oleh para penggiat, peneliti, pelaku usaha, petani dan generasi muda di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan. (DR)

Berkolaborasi Dalam Mengatasi Permasalahan di Sekitar Gambut

Mendengar kata gambut saat ini rasanya tidak asing ditelinga kita. Gambut sebagai suatu ekosistem unik berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbon, penjaga tata air, tempat tumbuh dan bernaung berbagai macam flora dan fauna. Selain dari segi lingkungan, dalam fungsi yang lebih luas, gambut sangat berpengaruh bagi peradaban manusia di dalamnya. Mereka yang bermukim di sekitar kawasan gambut, mayoritas kesehariannya bergantung pada lahan gambut untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi maupun sosial budaya.

Sebagai contoh, dalam lahan gambut yang kami temui di 31 desa gambut pada dua kesatuan hidrologis gambut(KHG) Sungai Kapuas-Sungai Ambawang dan Sungai Kapuas-Sungai Terentang Kabupaten Kubu Raya, kami melihat bahwa sebagian besar desa memiliki lahan gambut yang luas dengan persentase lebih dari 65% dalam total luasan desa. Mayoritas penghidupan utama masyarakatnya yaitu bertani dan berkebun. Lahan gambut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk pengembangan berbagai komoditas seperti karet, kelapa, jahe, nanas, lada, sawit dan berbagai tanaman sayuran seperti cabai, timun dan kacang panjang. Pengembangan komoditas tersebut sudah berjalan secara turun temurun sejak sejak Tahun 1980an.  Produktivitas dari komoditas yang dihasilkan dari lahan gambut sangat menjanjikan untuk jahe misalnya dapat mencapai 8 ton/ha.

Dalam pengelolaan lahan gambut untuk kegiatan budidaya berbagai komoditas, masyarakat umumnya masih mengandalkan cara-cara tradisional dalam pengelolahan lahan misalnya dengan penyemprotan lahan menggunakan herbisida, penebasan dan pembakaran terkendali serta dengan menaburkan kapur dolomit untuk mengurangi kadar asam dari lahan gambut. Beberapa kelompok tani dan sebagian petani telah menerapkan pengelolaan gambut yang ramah lingkungan misalnya dengan pengelolaan lahan tanpa bakar dan penggunaan pupuk organik. Pengetahuan tersebut mereka dapat baik dari berbagai pelatihan yang diadakan oleh instansi maupun lembaga terkait dan secara otodidak tentunya.

Di sisi lain, masyarakat menemui berbagai permasalahan di lapangan baik dari segi keterbatasan akses infrastruktur dan pemasaran hasil panen berbagai komoditas, rendahnya harga, kendala pengembangan produk turunan(produk, label, izin PIRT/halal dll), keterbatasan modal, tingginya biaya dalam pengelolaan lahan dan kegiatan budidaya, sulitnya akses bantuan pupuk, serta permasalahan lainnnya misalnya banjir dan kebakaran di lahan gambut.

Proses pengangkutan kelapa oleh pengepul di Desa Kubu (Sumber: Intan Wulandari PMG Kalimantan Barat)

Memupuk Cinta Lingkungan, DAS dan Gambut Sejak Usia Dini

Usia dini adalah masa yang penting untuk membekali anak dengan pengetahuan dan pembinaan untuk mengembangkan potensi mereka. Usia ini juga optimal dalam menanamkan kesadaran, kepedulian dan membentuk hal-hal positif tentang berbagai hal terkait. Khususnya sikap dan perilaku yang tepat untuk melestarikan lingkungan dan ekosistem.

Provinsi Sumatera Selatan, kerap kali dihadapkan pada permasalahan lingkungan dan ekosistem. Seperti kebakaran hutan dan lahan, yang sebagian terjadi di lahan gambut. Selain itu permasalahan degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang disebabkan oleh erosi, alih guna lahan, budidaya pertanian yang tidak ramah lingkungan, juga membawa pengaruh besar untuk Sumatera Selatan.

Menumbuhkan pemahaman dan kesadaran tentang DAS dan lahan gambut, perlu dilakukan sejak awal, melalui pendidikan formal di tingkat Sekolah Dasar (SD). Karenanya, Forum DAS Sumatera Selatan bekerjasama dengan ICRAF Indonesia, didukung oleh Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Banyuasin, menginisiasi penyusunan kurikulum pendidikan tentang DAS dan Gambut. Sebagai langkah awal, diselenggarakan Lokakarya Peningkatan Kapasitas dan Pengarusutamaan Kurikulum Pendidikan Lingkungan (DAS dan Gambut), Sebagai Materi Muatan Lokal bagi Siswa Sekolah Dasar. Diselenggarakan selama dua hari, 23-24 September 2021, di Beston Hotel Palembang, secara luring dan daring.

Peserta lokakarya yang hadir berasal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Banyuasin, koordinator wilayah, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, mitra pembangunan, CSO dan media. Bertujuan untuk menyamakan persepsi para pihak tentang program edukasi lingkungan melalui proses penguatan kapasitas dan pengumpulan saran dan ide terkait materi pendidikan DAS dan lahan gambut. Sasarannya adalah membangun kurikulum dan bahan ajar DAS dan gambut yang dapat diintegrasikan kedalam muatan lokal pendidikan di tingkat SD (kelas 4, 5 dan 6).

Dr. Syafrul Yunardy, S.Hut., M.E., selaku Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan DAS Provinsi Sumatera Selatan, dalam sambutannya mengatakan “Kegiatan lokakarya ini untuk membantu percepatan pencapaian visi dan misi Bapak Gubernur Sumsel terkait Sumsel bebas asap; dan mengapa salah satunya terkait Daerah Aliran Sungai (DAS), dikarenakan melalui DAS kita dapat memitigasi bencana banjir, erosi dan kekeringan di lahan gambut.”

Tujuan lain pun disampaikan Dr. Syafrul bahwa pendidikan dan pengetahuan perlu digagas melalui muatan lokal sedari dini kepada siswa dan siswi Sekolah Dasar, sehingga mereka dapat juga berperan aktif terlibat dalam menjaga lingkungan.

Hal ini pun disambut baik oleh Direktur ICRAF Indonesia, Dr. Sonya Dewi yang menjelaskan bahwa ICRAF Indonesia ikut berperan aktif dan mendukung inisiatif ini dengan bekerjasama secara erat dengan Forum DAS dan tentunya Pemerintah Provinsi dan Kabupaten serta Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten, khususnya Banyuasin.

“Kalau kita mulai Pendidikan sejak dini, mereka para siswa dan siswi akan lebih cepat menyerap pengetahuan dan mempunyai dasar ilmu yang cukup baik untuk melakukan aksi yang cocok untuk daerahnya. Bahkan bisa saja mereka akan menularkan ilmu yang mereka dapat ke orang tuanya” ujar Dr. Sonya.

Dr Sonya pun berharap kurikulum dan bahan ajar yang akan disusun nanti bisa masuk kedalam muatan lokal, dan semoga Kabupaten Banyuasin sebagai kabupaten pertama yang menjadi pelopor kegiatan ini dapat menjadi contoh, agar bisa diterapkan juga di kabupaten-kabupaten lain yang mempunyai lahan gambut yang cukup significant.

Kegiatan Lokakarya Forum DAS Sumatera Selatan yang bekerjasama dengan ICRAF Indonesia ini pun mendapat dukungan penuh dari Drs. Riza Fahlevi, M.M., Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan serta Aminuddin, S.Pd., SIP., M.M., selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin.

“Apresiasi kepada Forum DAS dan ICRAF Indonesia yang telah mengawali langkah besar ini, dan memilih usia SD untuk pengembangan muatan local lingkungan, DAS dan gambut ini. Pendidikan merupakan investasi yang sangat besar untuk keberlanjutan kualitas penghidupan di masa depan. Tidak hanya di Kabupaten Banyuasin, tapi juga di seluruh 17 Kabupaten lainnya” kata Pak Riza Fahlevi dalam sambutanya sekaligus membuka lokakarya ini.

Dinas Pendidikan provinsi dan kabupaten tentu saja mengutamakan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum dan bahan ajar. Dua hari lokakarya ini perlu dijalankan dengan baik, agar terwujudnya Sumsel bebas asap dan melalui pendidikan akan terciptanya Sumsel tangguh, tegar dan terdepan, tegas Riza Fahlevi.

Beliau pun berharap dengan hadirnya ICRAF, maka inisiasi ini perlu dilakukan secara berkelanjutan, agar I = Ide dan inisiatif, menyumbangkan ide dan inisiatif dalam kegiatan lokakarya dan bersama-sama terlibat dalam pengembangan penyusunannya nanti; C = Chemistry, hubungan kedekatan secara kebatinan bersama, yaitu one team, one vision dan one goal; R = Reading, tetap membaca agar kualitas ilmu lokal dapat diandalkan; A = Aplikasi, memanfaatkan dan menguasai aplikasi dan teknologi yang ada sekarang; dan F = fokus, terus fokus agar hasilnya fantastis.

Paparan materi pertama disampaikan oleh Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Dr. Saparis Soedarjanto, S.Si., M.T. mengenai “Membedah Fungsi dan Peran Penting DAS bagi Kehidupan dan Penghidupan”, yang menjelaskan bahwa ekosistem DAS merupakan bentang alam dan bentang kelembagaan yang kompleks. Pengelolaan DAS identik dengan permainan orkestra musik. Terciptanya harmonisasi dalam pengelolaan DAS diperlukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar multi pihak dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS.

Andree Ekadinata, S.Hut., M.Si., Koordinator Tim Paket Kerja 6-Pengelolaan Pengetahuan, Peat IMPACTS, ICRAF Indonesia, yang juga berkesempatan menyampaikan paparannya mengenai “Membedah Fungsi dan Peran Penting Gambut bagi Kehidupan dan Penghidupan”. Menjelaskan apa itu gambut dan fungsinya, degradasi gambut, memulihkan gambut, dan mengelola gambut untuk tidak rusak lagi, sekaligus menumbuhkan pemahaman dan kecintaan terhadap gambut.

Andree juga menjelaskan mengenai apa itu restorasi gambut. “Restorasi gambut adalah proses Panjang untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari lahan gambut yang terdegradasi.” ujarnya.

Penyampaian kedua materi tersebut dimoderatori oleh Wakil ketua Forum DAS, Dr. Ir. Karlin Agustina, M.Si., yang mengantarkan peserta lokakarya kepada diskusi yang lebih mendalam, mengenai upaya penyusunan kurikulum muatan lokal Pendidikan lingkungan DAS dan Gambut di Kabupaten Banyuasin, yang akan dilakukan selama dua hari ini.

Lewat acara ini diharapkan tercipta dukungan dari instansi terkait dan terbentuknya tim gugus tugas penyusunan draft kurikulum dan bahan ajar pendidikan lingkungan, DAS dan gambut Kabupaten Banyuasin. Dengan begitu generasi muda Sumatera Selatan akan memiliki fondasi untuk menjaga lingkungannya secara berkelanjutan dari berbagai faktor penyebab kerusakan lingkungan.

Produk olahan menaikan nilai jual dan menambah sumber pendapatan masyarakat desa di Kubu Raya

Lahan gambut memungkinkan untuk diolah dengan tetap memperhatikan kelestarian alam. Ada beberapa komoditas tertentu yang dapat bertahan hidup dan dibudidayakan di lahan gambut, bahkan hasilnya pun bisa sangat melimpah. Namun sayangnya produksi melimpah ini tidak diiringi dengan permintaan pasar, sehingga menyebabkan harga jual produk hasil pertanian menjadi murah.

Saya, Zaki Ruhyaman, ikut dalam salah satu program ICRAF Indonesia melalui Peat-IMPACTS yang dinamakan Peneliti Muda Gambut (PMG) Kalimantan Barat. Kami Di saat turun ke lapang dan mengunjungi desa-desa di Kabupaten Kubu Raya, kami temukan beberapa contoh komoditas yang over production. Salah satunya timun yang merupakan hasil pertanian di Desa Pulau Limbung. Akses yang sulit untuk mencapai pasar membuat warga menjual produk pertaniannya menggunakan klotok, bahkan ada yang menjual hingga ke Kabupaten Sanggau.

Contoh lain, adalah buah nanas. Badan Pusat Statistik Kab. Kubu Raya melaporkan bahwa produksi nanas di Kab. Kubu Raya pada tahun 2018 merupakan komoditas yang produksinya paling besar, dan Kecamatan Sungai Raya adalah produsen terbesar untuk buah nanas. Namun lingkup penjualannya yang sempit dan permintaan pasar yang sedikit menyebabkan harga jual menjadi murah. Di Desa Sungai Asam, harga jual nanas bisa mencapai 2.000 rupiah per buah. Bahkan di Desa Muara Baru hasil nanas hanya dibagikan ke para tetangga.

Untuk komoditas jahe, di Desa Radak 1 dan Desa Permata, pada Bulan Maret 2020, harga jahe mencapai 80.000 rupiah per kilogram di Pasar Flamboyan. Hal ini memancing para petani untuk ikut menanam jahe hingga akhirnya panen jahe meningkat dan harganya menjadi murah.

Salah satu alternatif solusi untuk menjawab tantangan tersebut adalah mengolah produk hasil tani menjadi produk olahan yang memiliki nilai tambah. Nanas yang berlimpah di Desa Sungai Asam diolah oleh kelompok wanita tani menjadi berbagai produk olahan seperti dodol, kripik, selai. Nanas merupakan produk pertanian yang mudah rusak dan memiliki daya tahan produk kurang dari seminggu. Apabila saat distribusi terdapat memar pada buah nanas, maka daya tahan buahnya lebih pendek dan cepat busuk. Pengolahan produk ini memberi nilai tambah dan meningkatkan harga jual, serta memperpanjang daya tahan produk sehingga dapat dijual secara lebih luas.

Produksi jahe yang melimpah di desa Radak 1 dinilai oleh Ikatan Mahasiswa Terentang (IMATER) sebagai peluang apabila dapat diolah menjadi produk olahan seperti jahe instan. IMATER kemudian mengajak masyarakat Desa Radak 1 untuk membentuk kelompok usaha jahe. Bersama sebuah LSM mereka mulai membuat tempat produksi jahe instan yang dijual dengan nama Siliwangi. Produk jahe instan ini diproduksi hingga sekarang dan telah dijual ke beberapa mini market dan supermarket di Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak.

Di Desa Kubu, Kecamatan Kubu, kami menemukan adanya produksi gula merah dan gula semut. Lahan gambut tipis di Desa Kubu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjadi kebun kelapa hibrida. Kelapa hibrida ini dipanen dalam bentuk buah utuh dan nira yang disadap. Hasil sadapan nira diolah menjadi gula merah dan gula semut. Saat ini, Pemerintah Kubu sedang mendorong produk gula semut untuk menjadi produk unggulan karena memiliki nilai tambah yang tinggi, harga jualnya hampir 5 kali lipat dari gula merah dan juga memiliki khasiat untuk kesehatan.

Ketiga produksi produk olahan ini memiliki peluang yang dapat dikembangkan untuk menambah sumber penghidupan. Nilai tambah produk menjadi produk olahan diharapkan dapat membuka kesempatan untuk memperluas lingkup pemasaran serta menambah harga jual.

Agroforestri dan Opsi-Opsi Komoditi Unggulan di Lahan Gambut Kabupaten Kubu Raya

Saya, Riska Masyura, salah satu dari 55 Peneliti Muda Gambut (PMG) di Kalimantan Barat, merasa berterima kasih telah berkesempatan tergabung dalam program ICRAF Indonesia melalui Peat-IMPACTS.

Sungguh antusias dan berkesan dapat menjadi bagian dari PMG Kalbar, dan terlibat dalam kegiataan penelitian ini. Sempat saya mengira, menjadi peneliti (ahli botani) hanya impian saya di masa kecil yang hanya bisa ditulis dan menjadi kenangan di biodata binder sebagai cita-cita. Ternyata kali ini adalah kesempatan besar untuk saya merasakan bagaimana bisa menjadi peneliti yang sebenarnya.

Sebelum kami turun untuk kegiataan lapangan, kami mendapatkan bekal berupa materi pengetahuan mengenai lahan gambut dari para pakar peneliti ICRAF Indonesia, selama lebih dari satu bulan. Setelah proses pembekalan, kami mulai melakukan aksi lapang dengan pembagian ke beberapa tim, yang terdiri dari 12-15 orang perdesa. Selama kurang lebih dua bulan kami di lapangan, kami jadi saling mengenal satu sama lain dan memiliki keeratan layaknya keluarga. Tidak hanya terfokus pada penelitian saja, disela-sela kesempatan, kami juga saling bertukar sudut pandang, karena latar belakang pendidikan kami yang berbeda beda. Tak ketinggalan saling mengingatkan, menguatkan dan memberi motivasi agar penelitian ini berjalan dengan sebaik mungkin.

Perpindahan antar desa memiliki cerita tersendiri, suasana perpindahan dari jalur darat ke jalur air memiliki rasa yang berbeda beda. Sulit rasanya meninggalkan desa yang telah kami kunjungi walau hanya sekitar 5-7 hari disetiap desa, namun terasa seperti sudah lama menjadi bagian dari desa tersebut. Setiap desa yang kami temui memiliki kesan tersendiri, dengan beragam etnis, budaya dan keunikan masing-masing. Bagaimana budaya itu menjadi salah satu pola atau cara hidup yang terus berkembang yang turun temurun.

Budaya dari nenek moyang yang bertahan hidup salah satunya dengan cara bertani. Banyak ditemukan di desa yang mayoritas masyarakatnya bertahan hidup sebagai petani atau yang memanfaatkan lahan untuk bertani. Banyak petani mengusahkan komoditi yang disesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar untuk penghidupan mereka sehari hari. Salah satu opsi usaha tani yang bisa dilakukan adalah agroforestri. Agroforestri adalah suatu perpaduan antara usaha pertanian dengan usaha kehutanan. Singkatnya, kombinasi budidaya pertanian hortikultura dengan tanaman perkebunan dalam satu hamparan lahan, contohnya, karet dan nanas.

Mengapa agroforestri itu penting? Salah satu nya adalah bisa mengkombinasikan berbagai jenis tanaman dalam satu lahan. Artinya, sumber penghasilan dengan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Hasil yang didapatkan bisa lebih dari satu komoditas. Jika ada salah satu tanaman yang gagal panen maka masih ada jenis komoditas lainnya yang bisa dipanen.

Salah satu desa yang memberdayakan Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk mengoptimalkan pemanfaatan perkarangan dengan mengkombinasikan tanaman karet dengan nanas yang kegiatan pertanian dengan didampingi oleh penyuluh pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil kajian selama kami dilapangan, banyak petani yang mengkombinasikan tanamannya, dan komoditas yang sering ditemui adalah tanaman perkebunan, yaitu kelapa sawit, karet, kopi, kelapa hibrida, durian dan lada. Untuk tanaman hortikultura seperti cabai, jahe, nanas dan tomat, serta tanaman pangan berupa jagung, umbi-umbian dan padi.

Opsi opsi komoditi unggul ini kemudian dimanfaatkan oleh petani dengan bantuan pihak-pihak terkait, seperti penyuluh pertanian untuk mengenalkan komoditi yang cocok diusahakan dilahan gambut. Komoditinya seperti kelapa hibrida, kopi liberika, nanas, cabai, jahe dan padi. Bantuan tak hanya berupa penyuluhan praktik pertanian yang baik, juga bantuan penyediaan sarana produksi pertanian untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam mengolah lahan gambut. Serta berbagi pengalaman sesama petani melalui forum kelompok tani (poktan) yang sudah berhasil mengusahakan komoditas tanaman dilahan gambut akan menjadi penting supaya praktik pertanian bisa meluas.

Harapannya memilih cara budidaya dengan melihat potensi komoditi yang unggul dan memilih sistem usaha tani yang terbaik untuk praktik pertanian berkelanjutan dilahan gambut untuk generasi penerus di Kabupaten Kubu Raya.

Latar belakang pendidikan bukan penghalang untuk tidak berkontribusi mencintai lahan gambut

Saya, salah satu Peneliti Muda Gambut Kalimantan Barat ingin berbagi pengalaman disaat turun ke lapang. ICRAF Indonesia melalui program Peat-IMPACTS memfasilitasi para peneliti muda gambut untuk mengunjungi 31 desa yang tersebar di wilayah Kabupaten Kubu Raya. Masing masing desa kami kunjungi selama 6-7 hari.

Saya sangat bahagia dan bersyukur dipercaya oleh ICRAF Indonesia untuk dapat bergabung, berkontribusi, dan banyak sekali ilmu baru yang saya dapatkan selama turun lapang. Saya yang memiliki latar belakang keilmuan kimia, yang biasanya melakukan penelitian hanya di dalam laboratorium, kali ini sangat menikmati melakukan kegiatan penelitian dengan terjun secara langsung bersama masyarakat. Saya mulai belajar bagaimana sistem pertanian yang dikelola oleh para petani yang sebelumnya tidak pernah saya dapatkan selama dibangku kuliah.

Selama turun lapangan, banyak sekali hal hal menarik yang kami peroleh, bagaimana masyarakat mampu bertahan hidup diatas lahan gambut, Mulai dari pengelolaan lahan, tanaman apa saja yang dibudidayakan, kendala yang dihadapi, serta bagaimana pengolahan produk hasil pertanian.

Dalam aksi lapang, seluruh peneliti muda gambut Kalimantan Barat yang terdiri dari 55 orang langsung berkunjung ke beberapa lokasi lahan pertanian masyarakat. Mereka dengan senang hati menerima kunjungan kami dan berdiskusi bersama, bahkan ada yang membagikan hasil pertanian mereka kepada kami para PMG. Suasana dan ramahnya masyarakat desa telah membuat kami terbiasa dan merasa kekeluargaan.

Seperti yang telah kami ketahui, lahan gambut yang luas, ada sebagian lahan yang dapat dikelola untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, dan ada pula yang dijaga kelestariannya sebagai lahan hutan lindung. Beberapa desa yang kami kunjungi dan memiliki Hutan Lindung adalah di Desa Muara Baru, Desa Betuah, dan Desa Tanjung Beringin yang masih terjaga dengan baik hingga saat ini.

Masyarakat umumnya mengelola lahan gambut dengan membudidayakan tanaman, seperti karet, kelapa sawit, jahe, nanas, buah buahan, kopi, cabai, durian, dll. Proses pembukaan lahan yang ditemukan di beberapa desa mayoritas masih dilakukan dengan cara tradisional dengan menebas dan mencangkul. Pembukaan lahan untuk budidaya tanaman tertentu seperti jahe, dilakukan petani dengan cara mengupas lapisan gambut terlebih dahulu agar jahe dapat tumbuh dengan baik.

Tantangan yang umumnya dihadapi oleh petani dilahan gambut adalah keadaan tanah yang asam sehingga memerlukan perlakuan khusus dengan pemberian dolomit untuk memperbaiki keadaan tanah, faktor iklim yang ekstrim, dan serangan hama penyakit. Untuk budidaya tanaman dilahan gambut perlu adanya pembuatan parit dan sekat kanal untuk mejaga tinggi muka air tanah.

Keaktifan kelompok tani didesa akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem usaha tani di desa. Sebagai contoh, Desa Sungai Asam sudah ada kerjasama kelembagaan dengan kelompok petani perempuan untuk pengolahan produk turunan dari nanas menjadi keripik, dodol, dan selai nanas. Dari Desa Kubu juga sudah ada kelompok tani yang mengolah nira kelapa menjadi gula semut dan gula bata. Beras dari Desa Sungai Terus, Kecamatan Kubu yang dikelola di lahan pasang surut, sudah memiliki contoh pemasaran yang baik, yaitu dengan adanya dukungan dari Balai Penyuluh Pertanian. Beras yang dipasarkan sudah memiliki merk dagang, izin usaha, dan pemasaran yang sudah menyebar ke beberapa perusahaan disekitar desa.

Di Desa Dusun Loncek Teluk Bakung, masyarakatnya membentuk dua kelompok tani, yaitu kelompok tani perempuan dan kelompok tani milenial, yang menggabungkan pola pertanian modern dan tradisional. Desa Tembang Kacang juga sudah memiliki kelompok petani milenial. Pelibatan para petani milenial dalam kelompok tani ini, diharapkan para milenial akan bersemangat untuk kembali bertani.