Top
 

It’s time to sow the seeds of love for peat through education at an early age

Why do we need to invite the younger generation to care and understand for the environment, especially for people who live with peat?

Early childhood is an important period to equip children with knowledge and education to develop their potential. This age is also optimal for instilling awareness and caring, and forming a positive mindset. Especially good attitudes and behaviour towards preserving ecosystems, and especially peat.

Peat-IMPACTS Indonesia sees the need to and importance of initiating non-formal education programmes for all school students, by providing an introduction, understanding and awareness through education. Together with local development partners in two Peat-IMPACTS site locations in South Sumatra and West Kalimantan, we initiated a programme for capacity strengthening and mainstreaming an Environmental Education Curriculum starting at the district level.

Workshop in South Sumatra on Capacity Building and Mainstreaming Environmental Education (Watershed and Peat) as local content for elementary school students, 23-24 September 2021

Workshop in South Sumatra on Capacity Building and Mainstreaming Environmental Education (Watershed and Peat) as local content for elementary school students, 23-24 September 2021

Introducing students to the surrounding environment is the main objective of this programme. South Sumatra province is often faced with environmental and ecosystem problems, such as forest and land fires, some of which occur in peatlands. In addition, watershed degradation caused by erosion, land-use change and environmentally unfriendly agricultural cultivation, also has a major impact on South Sumatra. For this reason, it is important for us to instil an understanding of peat and watersheds at all levels of society, for both adults and children. West Kalimantan province is also facing land and forest management problems, including peatland forest and land fires, land erosion, and deforestation. These affect community well-being, both in and around forest estate areas.

Workshop on Capacity Building and Mainstreaming the Environmental Education Curriculum (Peat) as local curriculum content in Kubu Raya district on 8–9 November 2021

Workshop on Capacity Building and Mainstreaming the Environmental Education Curriculum (Peat) as local curriculum content in Kubu Raya district on 8–9 November 2021

This programme expects to be useful in providing elementary school students with the necessary attitudes, knowledge, and skills to be aware of their natural, social, and cultural environment, which will benefit them and their communities, and in developing local cultural values in the context of supporting national development. This is also to prepare school students to have a solid insight into their environment, and nurture attitudes, behaviours, and a willingness to conserve and develop natural resources, social qualities, and culture to support national and regional development.

Workshops were conducted involving key academics from the Ministry of Education and Cultural Affairs, provincial and district education offices, school supervisors, principals and teachers, development partners and others.

Topics presented included the important functions and roles of peat for life and livelihoods, what peat degradation is, and how to carry out peat restoration. The workshops received support from stakeholders for the establishment of a working group to prepare a draft curriculum and teaching materials for environmental and peat education. We hope this activity will break ground for other regions to do the same thing in taking concrete steps to rehabilitate and conserve peatland and instil the idea that “peat is the future”.

Bersama Menyatukan Asa Untuk Gambut Lestari

Pemerintah Kabupaten dan Mitra Pembangunan Sumatera Selatan Memulai Proses Penyusunan Dokumen RPPEG

Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) provinsi Sumatera Selatan, memulai proses penyusunan dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) dengan menyelenggarakan Lokakarya Penyadartahuan, pada hari Senin, 02 Agustus 2021, di Hotel Wyndham, Jakabaring, Palembang.
Acara yang dilaksanakan secara luring dan daring ini merupakan langkah awal dalam meningkatkan dan memperkuat pemahaman para pihak tentang urgensi perencanaan ekosistem gambut dan proses yang harus ditempuh dalam menyusun RPPEG pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Melalui lokakarya ini diharapkan akan terhimpun informasi awal mengenai ketersediaan data dan informasi yang relevan dalam penyusunan RPPEG provinsi Sumatera Selatan.
Sebagai media konsultasi para pihak, lokakarya dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan di provinsi Sumatera Selatan, meliputi jajaran UPT Kementerian LHK, OPD Pemprov Sumsel, akademisi, mitra pembangunan, kalangan swasta dan profesional, serta media. Kegiatan ini juga didukung oleh Forum DAS Sumsel, ICRAF Indonesia, dan Balai Penelitian Tanah sebagai bagian upaya #PahlawanGambut di Sumatera Selatan. #PahlawanGambut adalah sebuah gerakan untuk menghimpun pengetahuan, pembelajaran, pemahaman serta berbagai ide terkait pengelolaan gambut berkelanjutan oleh para penggiat, peneliti, pelaku usaha, petani dan generasi muda di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.
Dalam sambutannya mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) provinsi Sumatera Selatan, Kabid Pengendalian Kerusakan dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Drs. Wilman SH, MH, menyampaikan, “Lokakarya ini dilakukan dengan melihat perlunya upaya-upaya pelestarian dan perlindungan ekosistem gambut. Penyusunan upaya pengelolaan ekosistem gambut Sumsel ini disusun untuk 30 tahun kedepan, 2020-2049, dengan mengacu kepada Kepmen LHK, untuk mendukung RPPEG Nasional. Selain itu upaya lainnya juga dilakukan guna pemanfaatan, perlindungan dan pendayagunaan ekosistem gambut, serta adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim yang terjadi. Sehingga wawasan kita akan terbuka secara jelas betapa pentingnya ekosistem lahan gambut di Sumatra Selatan.”

Penyusunan dokumen RPPEG merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

PP tersebut memberikan mandat kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk menyusun dan menetapkan RPPEG sesuai kewenangannya. Meliputi RPPEG nasional oleh Menteri, RPPEG provinsi oleh Gubernur, dan RPPEG kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota.

Menurut Kasubdit Perencanaan Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK, Ir. Huda Achsani, “Sumatera Selatan sudah melaksanakan fungsi pengelolaan dan perlindungan gambut, namun dari keseluruhan itu, selain tindakan yang cepat dan praktis di lapangan kita perlu menyusun dokumen (RPPEG) sebagai landasan yang komprehensif, yang dapat digunakan sebagai landasan bagi RPJP, RPJMD, RTRW, RKTN, dan rencana strategis atau sektoral lainnya, baik di level pusat”.

Lebih lanjut Huda Achsani juga menuturkan bahwa dokumen RPPEG juga berisi kondisi potensi dan permasalahan di Sumsel, menarik isu strategis, data, serta informasi pendukung melalui data spasial, untuk merumuskan program, kegiatan dan target capaian secara detil. Sehingga siapapun yang berkepentingan untuk mengelola ekosistem gambut akan terarah, sistematis dan terpadu. Untuk itu, perlu adanya sinergitas satu dengan yang lain secara utuh, baik ekologis, ekonomis dan sosial.

Sejatinya, RPPEG merupakan sebuah dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah ekosistem gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. RPPEG merupakan sebuah upaya corrective action dalam pengelolaan ekosistem gambut (http://pkgppkl.menlhk.go.id/). RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan (2020-2049). Dokumen ini merupakan upaya perlindungan awal bagi lahan gambut dari kerusakan, dan degradasi lahan. Dalam penyusunannya, harus dilakukan secara komprehensif dan teliti, dengan melibatkan berbagai pihak dari level kabupaten, provinsi hingga level nasional.

Sumatera Selatan merupakan provinsi dengan salah satu ekosistem gambut yang terluas di pulau Sumatera setelah provinsi Riau. Namun saat ini ekosistem gambut tersebut berada dalam kondisi yang membutuhkan upaya pengelolaan dan pemulihan menyeluruh, sehingga Sumatera Selatan masuk sebagai salah satu provinsi prioritas restorasi gambut. Oleh karenanya, hadirnya RPPEG diharapkan mampu mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut terhadap ekosistem gambut dan menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut untuk sekarang dan masa yang akan datang di Sumatera Selatan, dan dapat diikuti oleh beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki wilayah bergambut. (DR)

Secarik Kertas dari Cerita Tanah Kalimantan Barat

Mengikuti program Inkubator Peneliti Muda Gambut (IPMG) Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu rangkaian program Peat-IMPACTS, ICRAF Indonesia, mengajarkan saya dan rekan-rekan saya untuk keluar dari zona nyaman. Awalnya sebagian dari kami berpikir bahwa dunia hanya seluas layar desktop semata. Lebih jauh daripada itu, segala informasi tidak semuanya bisa diwakilkan hanya dari paparan singkat yang kita dapat ketika berselancar di internet. Banyak informasi lainnya terutama mengenai penghidupan di desa seperti desa-desa yang berada di KHG Sungai Raya-Sungai Kapuas, Kabupaten Kubu Raya yang sangat terbatas jika hanya disajikan dengan deskriptif kata-kata.

Di dalam program PMG, kita berkesempatan untuk melakukan aksi lapangan menuju desa-desa tujuan penelitian. Kami mengunjungi desa-desa dengan kondisi penghidupan masyarakatnya yang serba keterbatasan. Seperti ketersediaan air bersih, hingga bagaimana anak-anak berangkat dari rumah untuk menuntut ilmu menuju sekolah di pagi hari hingga pulang sebelum matahari kembali ke peraduannya, hanya dengan menggunakan sampan untuk mengarungi dan menyeberangi Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Bagaimana energi listrik yang belum masuk ke pedesaan, sehingga hanya terang lilin dan bisingnya genset mengisi malam di desa. Kawula muda hingga lanjut usia duduk berbincang dan bercengkrama di teras dengan gelak tawa yang menghiasi parasnya, merupakan cara tersendiri bagi mereka untuk mendapatkan suatu kebahagiaan dengan cara yang sederhana.

Foto 1. Anak-anak Desa Betuah pergi bersekolah dengan menggunakan sampan.

Hal terbaik yang tidak datang dalam kehidupan kami, khususnya diri saya pribadi, saat melihat bagaimana nilai Bhinneka Tunggal Ika tetap terpelihara di kehidupan desa. Dengan keberagaman suku, ras, etnis, dan agama, serta saling tolong menolong di kehidupan sehari-hari, dan tetap berjuang bertahan hidup di ekosistem lahan gambut yang memang sulit untuk diolah. Nilai gotong royong dan kerja sama begitu mudah ditemui meskipun terbentur dengan berbagai latar belakang yang mereka miliki. Segala hal yang kami saksikan mengajarkan saya bahwa sosok pahlawan gambut, kalimat yang sering digaungkan dalam program PMG ini hidup dan tumbuh dalam sosok individu masyarakat desa di lahan gambut.

Foto 2. Upacara Adat Gawai Padi, Desa Betuah.

Lahan gambut bukan sekedar lahan yang tumbuh beberapa milimeter pertahunnya, dengan segala kerentanan ekosistemnya. Namun, lebih jauh daripada itu, di atas gambut terdapat nilai kehidupan masyarakat pedesaan yang sudah sedari dulu terpelihara seiring dengan laju pertumbuhan lahan gambut. Sesungguhnya yang harus dipahami bukan hanya perihal melindungi ekosistem lahan gambut semata, namun juga melidungi dan melestarikan nilai-nilai serta penghidupan masyarakat pedesaan. Konsep ini adalah pelajaran yang bisa kami petik dalam mengikuti program Peneliti Muda Gambut Kalimantan Barat, serta tugas yang kami emban sebagai penerus generasi bangsa.

Menemukenali potensi dan hambatan komoditas lada di Desa Terentang Hulu

Foto 1. Perkebunan Komoditas Lada di Desa Terentang Hulu

Rasa bahagia dan bangga menyelimuti diri setelah mendapatkan kesempatan untuk bergabung menjadi Peneliti Muda Gambut (PMG) Kalimantan Barat dalam kegiatan Peat-IMPACTS Indonesia. Kesempatan ini menjadi langkah awal saya untuk mendapatkan pembelajaran, pengetahuan, dan pengalaman untuk menemukenali lebih jauh upaya pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lahan gambut. Perjalanan dari desa ke desa untuk bertemu dengan masyarakat yang beragam dan saling berinteraksi langsung memberikan nuansa yang berbeda di lapangan, dan membuat hari-hari menjadi lebih seru. Dilengkapi oleh teman-teman yang berasal dari berbagai macam latar belakang pendidikan, semakin menambah warna di setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Bekerja sama dalam suatu tim, kami belajar untuk bekolaborasi dalam melakukan penelitian dan menggali segala pembelajaran mengenai pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan di desa.

Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan mengingatkan saya akan salah satu desa di Kecamatan Terentang Kabupaten Kubu Raya, yaitu Desa Terentang Hulu. Desa Terentang Hulu memberikan kesan teramat baik karena keramahan masyarakat dan pemandangan alam yang indah. Wilayah desa dilalui oleh Sungai Terentang dengan permukiman masyarakat yang dapat ditemui di sepanjang sungai. Selain potensi alam yang dimiliki, Desa Terentang Hulu memiliki potensi yang tak kalah penting yaitu berupa komoditas yang dibudidayakan oleh masyarakat dan menjadi salah satu sumber penghidupan masyarakat di Desa Terentang Hulu. Menurut beberapa penuturan saat berinteraksi dengan masyarakat, tanah desa yang subur memiliki potensi untuk mengembangkan komoditas lada.

Tanaman lada (Piper nigrum Linn.) merupakan salah satu jenis komoditas potensial yang diusahakan oleh masyarakat petani di Desa Terentang Hulu yang telah diusahakan selama kurang lebih 10 tahun. Lahan yang sebelumnya diperuntukkan untuk bercocok tanaman palawija, sedikit demi sedikit diolah kembali dan beralih fungsi menjadi perkebunan lada yang mereka anggap sebagai bentuk investasi menguntungkan di masa depan. Adanya dukungan akses terhadap penggunaan lahan memungkinkan sistem usaha tani lada dapat dikembangkan kembali di Desa Terentang Hulu.

Masyarakat desa mengelola lahan dengan cara tradisional, mulai dari pembukaan lahan hingga pengelolaan pasca panen. Tetapi pada proses pembukaan lahan hingga penanganan paska panen, masih terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh petani. Hal ini tentu saja menjadi faktor yang akan mempengaruhi produktivitas tanaman lada untuk mencapai hasil produksi yang optimal. Hambatan tersebut dapat berupa kualitas bibit lada yang rendah, serangan hama penyakit, pengolahan paska panen yang masih menggunakan teknologi sederhana, serta fluktuasi harga jual lada. Produktivitas lada dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan secara optimal beberapa faktor pendukung budidaya, mulai dari proses pembukaan dan pengelolaan lahan, pemilihan bibit yang berkualitas, teknik penanaman dan pemeliharaan, pemanenan, dan pengolahan paska panen.

Foto 2. Hasil Panen Komoditas Lada di Desa Terentang Hulu

Strategi pengembangan perlu dilakukan dalam pengelolaan sistem usaha tani lada sebagai komoditas potensial di Desa Terentang Hulu, agar segala pengharapan petani dapat tercapai. Usaha-usaha tersebut harus dilakukan secara terstruktur dan berkelanjutan. Beberapa strategi yang memiliki kemungkinan dapat dilakukan untuk pengembangan komoditas lada yaitu pemanfaatan tajar hidup untuk menunjang batang tanaman lada di atas permukaan tanah, pemanfaatan agen pengendali alami hayati untuk menangani hama dan penyakit tanaman lada, penerapan Sekolah Lapang Penanggulangan Hama Terpadu (SL-PHT), penerapan dan perbaikan sistem resi gudang, serta penggunaan bibit unggul lada.

Harapannya dengan adanya usulan strategi tersebut dapat menjadi pedoman arahan program pemerintah di Dinas Perkebunan Kabupaten Kubu Raya dan pemangku kepentingan terkait untuk mencapai pengembangan perkebunan lada yang berkelanjutan.

Catatan pendek dari perjalanan panjang di desa-desa tepian sungai

Foto 1. Perjalanan Tim KELTI 4 PMG KalBar ke desa-desa di Kubu Raya

Kami memulai perjalanan ke sejumlah desa pada awal April 2021. Bertolak dari salah satu hotel di Pontianak, menggunakan mobil menuju salah satu desa di hilir Sungai Kapuas, yaitu Desa Sungai Ambangah. Penduduk dari luar desa lebih mengenalnya sebagai Teluk Kumpai, karena merupakan pusat perniagaan dan pasar yang cukup ramai. Perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam ini cukup membuat kami lelah, karena pada malam hari sebelum keberangkatan kami harus lembur untuk mempersiapkan banyak perlengkapan sebelum melakukan penelitian di sana.

Kami tergabung dalam Program Peneliti Muda Gambut Kalimantan Barat (PMG KalBar), yang merupakan slaah satu rangkaian kegiatan Proyek Peat-IMPACTS, ICRAF Indonesia yang bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya. Kami bertugas selama kurang lebih dua bulan untuk meneliti di sejumlah desa. Kami yang tergabung dalam satu dari empat rombongan peneliti ini beranggotakan 15 orang, yang terdiri atas 6 laki-laki dan 9 perempuan.

Perjalanan ke desa pertama ini membuat kesehatan kami sedikit menurun, belum lagi keadaan cuaca yang cukup panas saat itu. Ada yang mulai terserang flu, pusing, dan sakit kepala. Bukan karena fisik mereka lemah, namun karena begitu banyak persiapan yang harus kita lakukan sebelum melakukan perjalanan penelitian menuju desa-desa ini. Penelitian di desa yang dilakukan selama kurang lebih satu minggu ini memberikan banyak sekali pengalaman dan pengetahuan baru. Mengenal banyak kebudayaan baru, potensi sumberdaya alam, juga masyarakat yang tinggal disana. Hal ini pula yang membuat kami tetap bersemangat untuk mengikuti dan menyelesaikan penelitian ini.

Desa Sungai Ambangah terkenal dengan sejumlah komoditas pertanian, seperti bengkoang, jahe, lada dan beberapa komoditas perkebunan seperti karet dan sagu. Selain itu, produk perikanan juga menjadi ciri khas desa yang terletak di Kecamatan Sungai Raya ini, salah satunya adalah ikan nila. Masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan Sungai Kapuas ini sebagian besar bekerja sebagai petambak ikan nila. Hasil ikan umumnya dijual di sejumlah pasar tradisional besar di Kota Pontianak. Kami juga berkesempatan mengunjungi salah satu situs kebudayaan di Sungai Ambangah, seperti Kuil Pemujaan Dewi Kwan Im yang menjadi lokasi wisata lokal penduduk dari dalam dan luar desa.

Selang beberapa hari, setelah melalui perbaikan dan evaluasi data hasil penelitian, kami melanjutkan perjalanan ke desa berikutnya. Desa ini bernama Bengkarek, yang sudah lama saya dengar namun baru sempat untuk berkunjung langsung melalui program penelitian ini. Sesampainya di desa, kami dipersilakan menginap di kantor desa; tempat yang cukup layak untuk melepas penat dari perjalanan yang menempuh jarak puluhan kilometer. Perjalanan di desa mulanya menggunakan mobil, namun karena akses jalan yang sangat kecil, kemudian dilanjutkan dengan sepeda motor. Total waktu yang kami perlukan sekurangnya tiga jam untuk sampai di desa. Beberapa hari setelah berada di desa, kami mulai memasuki Ibadah Puasa Ramadhan.

Setelah pamit dengan pemerintah dan penduduk desa, kami memulai perjalanan panjang dengan melewati jalur air, membelah sungai-sungai, tawa yang menyatu dengan suara kapal mesin menuju ke desa-desa lain. Kali ini kami sudah hafal betul cara dan trik dalam melakukan penelitian dan tetap menikmati perjalanan, meskipun di tengah dahaga dan lapar karena puasa. Kami memasuki Desa Muara Baru, sebuah desa yang termasuk salah satu wilayah terluar dari Kabupaten Kubu Raya.

Foto 2. Penduduk Desa Muara Baru menggunakan perahu mesin sebagai alat transportasi utama.

Desa ini sama dengan desa-desa berikutnya yang kami kunjungi, seperti Betuah, Radak Baru dan Tanjung Beringin, sebagian besar penduduk menggunakan sungai sebagai moda transportasi. Di desa-desa ini kami mengenal banyak sekali budaya lokal dan sumber penghidupan masyarakat. Umumnya penduduk bekerja sebagai petani atau pekebun, sebagian bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan dan kayu, juga ada yang bekerja sebagai nelayan.

Kami ingat betul saat berada di Desa Tanjung Beringin dan Desa Betuah, kami beruntung dapat menyaksikan secara langsung dua acara adat budaya lokal yang masih lestari. Di Desa Tanjung Beringin kami mengikuti upacara adat berupa hukuman secara adat dayak bagi pelaku yang melanggar peraturan lokal. Saat itu diketahui ada salah satu masyarakat yang melanggar peraturan berupa membakar udang di sungai. Masyarakat lokal percaya bahwa dengan membakar udang dan produk turunan berbahan dasar udang seperti terasi dan cencalok (asinan fermentasi udang) dapat mendatangkan malapetaka di desa. Kemudian di Desa Betuah, kami juga mengikuti upacara adat gawai hasil panen yang dilakukan pada bulan Mei 2021 kemarin. Upacara gawai ini dimulai dengan ritual buang-buang, seperti memberikan sesajian berupa poe’ (ketan) dan sejumlah hasil panen lain kepada Jubata (Tuhan) dan menghormati roh para leluhur dengan menghanyutkan sesajian tersebut ke sungai.

Hampir semua aktivitas masyarakat dilakukan di atas sungai, begitu pula di Desa Radak Baru dan Muara Baru. Mulai dari berdagang hingga pergi ke kebun, masyarakat memilih menggunakan akses sungai. Seperti itulah gambaran masyarakat yang berada di tepian sungai, yang tidak memiliki akses transportasi darat yang memadai. Mereka menggantungkan hidup melalui sungai, dari budaya hingga penghidupan. Banyak sekali cerita yang kami sampaikan selama kami berada di desa-dea tersebut. Dari mencoba untuk mandi dan mencuci pakaian di sungai, atau sekedar mencari angin segar dari kepenatan bekerja. Saya teringat sebuah buku bertajuk ‘Sungai dan Kebudayaan’, yang menceritakan tentang bagaimana pengaruh sungai terhadap budaya dan karakteristik masyarakat lokal. Ada sejumlah kebudayaan besar dunia yang berasal dari sungai, seperti kebudayaan Sungai Nil di Mesir, kebudayaan Sungai Indus dan Gangga di India, kebudayaan Sungai Eufrat dan Tigris di Irak serta sejumlah kebudayaan lokal seperti Sungai Kapuas di Kalimantan, Sungai Musi di Sumatera, dan Bengawan Solo di Jawa. Belajar dari kehidupan masyarakat di desa-desa tepian sungai, bahwa salah satu bentuk menghargai anugerah yang diberikan Tuhan adalah dengan menjaga dan melestarikan pemberianNya.

Saatnya menebar kepedulian pada gambut Kubu Raya lewat edukasi di usia dini

Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Sebuah ungkapan untuk tidak menyia-nyiakan waktu dalam berbuat kebaikan yang membawa manfaat untuk kita maupun untuk orang banyak. Dalam hidup, kita selalu dihadapkan pada berbagai tantangan, yang harus kita hadapi. Begitu juga dengan perhatian dan welas kasih kita terhadap lingkungan sekitar, dimana hidup kita bergantung.  Usia dini adalah masa yang penting untuk membekali anak dengan pengetahuan tentang hal tersebut. Usia ini optimal untuk menanamkan kesadaran dan kepedulian untuk melestarikan lingkungan dan ekosistem. Oleh karenanya, mengenalkan lingkungan sekitar, termasuk didalamnya lahan gambut adalah salah satu hal penting yang perlu ditanamkan pada berbagai kalangan masyarakat baik usia dewasa atau anak-anak.

Provinsi Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi yang kerap kali dihadapkan pada permasalahan penanganan lahan dan hutan. Permasalahan tersebut meliputi kebakaran hutan dan lahan termasuk yang ada di lahan gambut, erosi lahan, deforestasi, dan sebagainya.  Permasalahan tersebut mau tidak mau mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat, baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan hutan. Permasalahan tersebut bertambah kompleks dengan adanya keragaman faktor penyebab, termasuk didalamnya budaya dan kebiasaan budidaya pertanian dan pembukaan lahan.

Sejalan dengan itu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Kubu Rayasebagai bagian dari Provinsi Kalimantan Barat bersama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dan ICRAF-Indonesia berinisiatif untuk menginisiasi pendidikan tentang gambut dan lingkungan dengan menjajaki adanya muatan pembelajaran berbasis materi lokal melalui berbagai metode pembelajaran yang sesuai dengan konteks Kubu Raya.

Dalam lokakarya “Peningkatan Kapasitas dan Pengarusutamaan Kurikulum Pendidikan lingkungan (Gambut) Sebagai Materi Muatan Lokal di Kabupaten Kubu Raya”, tanggal 8-9 November 2021 yang lalu, bertujuan untuk membangun kesamaan persepsi pemangku kepentingan terkait edukasi gambut dan lingkungan. Sebagai bagian dari kegiatan lokakarya, dikumpulkan berbagai ide, saran dan masukan terkait proses penyusunan kurikulum dan bahan ajar gambut bagi generasi muda di Kubu Raya. Muatan lokal sebagai instrumen edukatif diusulkan menjadi pilihan. Saat ini kurikulum muatan lokal di Kubu Raya belum memasukkan pendidikan lingkungan khususnya yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan gambut.  Hal ini perlu segera dimulai dengan menerapkannya melalui muatan lokal pada pendidikan formal dengan memperhatikan berbagai kerangka regulasi yang ada. Lewat kegiatan ini diharapkan terbangun dukungan dari instansi terkait, yang kemudian dituangkan ke terbentuknya tim penyusunan draft kurikulum dan bahan ajar pendidikan gambut dan mangrove di Kabupaten Kubu Raya. ICRAF sebagai mitra Kabupaten Kubu Raya menempatkan bahwa kegiatan bersama para pihak ini merupakan rangkaian kegiatan yang dijalankan untuk mendukung #PahlawanGambut dalam program Peat-IMPACTS Indonesia dengan dukungan dana dari BMU-IKI. Proyek ini berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), khususnya TPB-13 (Aksi Iklim) dan TPB-15 (Kehidupan Darat).

Dr. Sonya Dewi, Direktur ICRAF Indonesia, dalam sambutannya mengatakan “ICRAF mempunyai mandat untuk melaksanakan kegiatan riset terkait pengelolaan lanskap dan ilmu pengetahuan agar dapat dipakai dan dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di tingkat lokal, regional, global. Proyek Peat-IMPACTS memfokuskan diri di lahan gambut, dengan mengetengahkan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan dalam mengelola lahan gambut di Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Kubu Raya. Dalam kita mengelola kawasan tentunya diperlukan adanya pemahaman bersama, kawasan hidrologis gambut seperti apa, fungsinya apa, ekosistemnya seperti apa. Hal ini perlu dilakukan pemahaman diawal baik jangka pendek, jangka tengah maupun jangka panjang”.

Beliau juga menambahkan, lokakarya ini penting untuk menyasar generasi muda yang keterlibatannya akan dilakukan hari ini, dan dampaknya dirasakan di masa depan nanti. Generasi muda adalah bagian dari staheholder yang sangat penting untuk memahami muatan lokal untuk menyasar pemanfaatan tata kelola ekosistem gambut dan mangrove dan berperan dalam inisiatif ditingkat global.

“Hal ini bisa berdampak pada kesempatan perbaikan ekonomi bagi generasi muda dengan mengisi kebutuhan tenaga kerja di masa depan yang saat ini sering disebut sebagai “Green Jobs”, ujar Sonya.

Pada akhirnya Dr Sonya Dewi menyampaikan: “Kami menyampaikan apresiasi atas dukungan penuh dari Bapak Bupati Kubu Raya untuk mempersiapkan Kabupaten Kubu Raya sejak dini dalam mengarusutamakan pengetahuan tentang gambut dan mangrove.  Kami sampaikan juga apresiasi juga kepada Kepala Dinas Pendidikan yang mampu mendorong apa yang kita pelajari dan dihasilkan nanti, untuk direplikasi ke daerah-daerah lain, juga ke provinsi lain lewat BRGM.” Inisiasi kegiatan ini disambut baik oleh Dr. Ir. Suwignya Utama, MBA., Kepala Kelompok Kerja Edukasi dan Sosialisasi BRGM, yang menyampaikan beberapa program yang telah dan sedang dilakukan oleh BRGM. “Seperti yang telah kita ketahui bersama, BRGM mempunyai pendekatan 3R, kami juga mempunyai program penguatan kelembagaan masyarakat dengan membangun desa-desa mandiri peduli gambut dan mangrove, dengan menggandeng pihak desa untuk pemeliharaan fungsi lingkungan dan sosialisasi edukasi. Sehingga masyarakat bisa memahami pentingnya melindungi gambut dan mangrove.”

“Tentunya BRGM dan ICRAF sudah sejalan dan membuka kolaborasi untuk mendorong aspek edukasi ini agar dapat masuk ke aspek pendidikan di Kabupaten Kubu Raya, yang tentunya diinisiasi melalui lokakarya pada hari ini. Kita perlu tingkatkan kesadaran dan membangun sikap positif generasi muda untuk membangun perilaku menjaga lingkungan (gambut dan mangrove). Aspek generasi muda perlu kita kawal dan kita dorong sejak awal, dan tentunya masuk ke dalam kurikulumnya,” ujar beliau.

Saatnya menanjak untuk gambut Kubu Raya

Bupati Kubu Raya, H. Muda Mahendrawan S.H., M.Kn., dalam sambutannya menyampaikan “Masyarakat Kabupaten Kubu Raya sebetulnya sudah “terkepung” dengan gambut. Para pendidik pun sudah cukup paham mengenai hal ini, utamanya bagi mereka yang tinggal di lahan gambut. Gambut pun sudah menjadi bagian dari hidup kita. Kegiatan ini juga mendapatkan dukungan dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove/BRGM. “M” disini juga berarti “Menanjak” ya Bapak/Ibu, supaya kita dapat melihat hal-hal penting dari perspektif yang lebih luas. Sehingga kebijakan dan kebajikan bisa kita teropong secara langsung dan sasaran pengarusutamaan akan lebih terarah, khususnya untuk pengarusutamaan edukasi ini ke tingkat TK, SD, dan selanjutnya.”

Langkah kongkrit untuk rehabilitasi dan konservasi akan kita harapkan dari para generasi muda kita yang tertanam dalam pikiran mereka “mangrove adalah masa depan”. Sebagai sumber pangan, peradaban unggul, dan sumber kekuatan yang ada di desa-desa. Melihat literasi gambut dan mangrove menjadi langkah-langkah kreatif dan mengandung solusi. Untuk menciptakan berbagai peluang termasuk ekowisata, wisata desa, dan menyangkut komoditi-komoditinya, jahe kelapa, kopi, pinang, dari sungai juga, sehingga dapat terawat dan terkelola dgn baik. Tegas Pak Bupati.

Kami semua merespon cepat keterlibatan ICRAF dan BRGM untuk bisa ikut bersama-sama di Kubu Raya, memperkuat semua aspek lingkungand an gambut yang akan menjadi unsur pendidikan. Hasil riset, verifikasi dan inventarisasi, termasuk best practice melalui Taman Baca, Rumah Baca, akan terus kita perkuat dengan menggandeng Lembaga-lembaga non-formal. Kesetaraan gender, budaya perempuan sangat signifikan untuk memperkaya literasi terkait gambut dan mangrove. Harapan besar ini disampaikan Pak Muda Hendrawan, sekaligus membuka lokakarya ini.

Pemahaman lebih lanjut mengenai gambut dan mangrove dipaparkan pada sesi paparan materi. Terdapat empat materi utama yang disampaikan secara rinci oleh Drs. Sugeng Hariadi, M.M., Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat, mengenai “Pentingnya Penguatan Karakter dalam Muatan Lokal (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan)”. Beliau menjelaskan mengenai pentingnya tujuan kegiatan ini, selain memperkenalkan peserta didik kepada lingkungannya, juga sebagai penguatan pembangunan karakter peserta didik, sehingga dapat menjadi bekal kemampuan dan ketrampilan untuk penghidupan dimasa depan. Bahkan juga mungkin untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Penguatan ini bukan hanya dari kita ke anak-anak, namun anak-anak juga bisa mengingatkan kepada kita semua, sebagai orang tuanya, para pendidiknya serta masyarakat yang lebih luas. “Kami mendukung lokakarya ini untuk memberi pemahaman lanjutan kepada masyarakat terutama anak-anak agar menyadari betapa pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan. Harapannya gambut dan mangrove akan semakin lestari, saling menjaga dengan tetap mengambil manfaatnya”, tambah Drs. Sugeng Hariadi.

Pemaparan dilanjutkan oleh Roby Royana, S.Hut, M.Si., Tenaga Ahli Kelompok Kerja Kerjasama, Hukum dan Hubungan Masyarakat BRGM, yang menyampaikan materi tentang “Membedah Fungsi dan Peran Penting Gambut dan Mangrove bagi Kehidupan dan Penghidupan”. Materi tentang “Kondisi terkini Gambut dan Mangrove dan Pentingnya Muatan Lokal”disampaikan oleh Prof. DR. Dwi Astiani, Guru Besar Manajemen Kehutanan Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura. Materi terakhir pada hari pertama lokakarya ini disampaikan oleh Sri Nugroho Jati, M.Psi., Psikolog, Universitas Muhammadiyah Pontianak yang menyampaikan materi tentang “Materi Pendidikan Dasar Lingkungan dalam Perspektif Psikologi Pendidikan”.

Peserta lokakarya yang hadir berasal dari Pemerintah Kabupaten Kubu Raya dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, diantaranya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kubu Raya, Bappeda Provinsi Kalbar dan Kab. Kubu Raya, Dewan Pendidikan Kab. Kubu Raya, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, akademisi mitra pembangunan, CSO dan media. Pertemuan ini juga dihadiri secara langsung oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Potensi penerapan sistem agroforestri di Desa Sungai Asam

Indonesia dengan kekayaan alamnya membuat kita bersyukur bahwa selama ini semesta begitu baik karena telah memberikan semua kebutuhan hidup yang kita perlukan. Kabupaten Kubu Raya merupakan kabupaten dengan sebagian besar wilayahnya terdiri dari kawasan gambut. Terutama di Desa Sungai Asam, yang memiliki sekitar 80% wilayahnya adalah lahan gambut. Gambut adalah salah satu kekayaan yang patut untuk kita jaga dan kita kelola sebaik mungkin karena peran dan fungsinya yang begitu penting dan dapat memberikan manfaat. Namun saat ini gambut juga menghadapi banyak tantangan. Gambut terancam akan terdegradasi dan dapat menyebabkan bencana ekologis, serta menurunkan produktivitas lahan. Oleh karena itu, upaya pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan perlu terus dilakukan.

Setelah berkunjung ke beberapa desa, saya, yang tergabung dalam program Peneliti Muda Gambut (PMK) Kalimantan Barat, ICRAF Indonesia, melihat adanya potensi dari pemanfaatan lahan gambut masyarakat di Desa Sungai Asam. Pemanfaatan lahan gambut menjadi kebun campur atau agroforestri mampu menjawab tantangan perubahan iklim yang saat ini terjadi dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan terutama pada keanekaragaman hayati yang dilihat dari berbagai jenis komoditas tanaman.

Foto 1. Agroforestri Desa Sungai Asam

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman pepohonan dengan tanaman pertanian, yang bertujuan untuk memberi manfaat baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan secara berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Melihat potensi yang ada, penerapan system agroforestri di lahan gambut yang dikelola masyarakat dapat menjadi opsi agar lahan gambut tetap dapat menjaga tingkat produktivitasnya secara luas. Potensi penerapan sistem agroforestri di Desa Asam inipun dapat menjadi menjadi opsi pengelolaan lahan gambut. Agroforestri dapat dilakukan pada kawasan gambut yang terdegradasi dengan fungsi pemanfaatan budidaya. Sistem agroforestri pada umumnya dilakukan pada kawasan gambut dengan kondisi kering sehingga dalam pengelolaanya agroforestri memanfaatkan jenis- jenis tanaman tertentu yang dapat beradaptasi pada kondisi lahan gambut. Dalam pengembangan agroforestri, perlu adanya identifikasi kesesuaian jenis komoditas tanaman dan lahan yang berpeluang untuk tumbuh serta meningkatkan produktivitas.  Sebagai contoh, masyarakat di Desa Sungai Asam yang mengelola lahan pertaniannya yang merupakan di lahan pertanian kering. Salah satu opsi pendekatan yang dapat dilakukan yaitu melalui observasi langsung di lapangan, untuk mengidentifikasi jenis tanaman yang sesuai untuk lahan pertanian kering, seperti terlihat pada foto 2.

Foto 2. Pertanian lahan kering di Desa Sungai Asam

Pengembangan agroforestri dapat menjadi sumber penghidupan untuk membantu pemanfaatan lahan menuju kesejahteraan ekonomi masyarakat di Kabupaten Kubu Raya, khususnya di Desa Sungai Asam. Masyarakat Desa Sungai Asam sebagian besar adalah petani yang memanfaatkan lahan di sekitar pekarangan rumah dan kebun yang mudah untuk dijangkau. Lahan gambut yang dijadikan agroforestri ini ditanami dengan berbagai jenis tanaman yang menjadi kebutuhan masyarakat desanya, seperti pisang, ubi kayu, jahe, nanas dan jenis tanaman lainnya yang dapat diperjual belikan ke pengepul atau pasar tak terkecuali budidaya kopi yang saat ini menjadi primadona dikalangan anak muda.

Kopi merupakan produk yang dapat dipasarkan secara lokal. Selaras dengan budaya masa kini yang sedang menjamur di kalangan penikmat kopi generasi muda di Pontianak, dan tentunya akan menjadi daya tarik tersendiri apabila masyarakat Kalimantan Barat, khususnya Pontianak dapat juga menikmati kopi lokal dari Kubu Raya. Generasi muda milenial dapat mencintai dan mengenal bahwa dengan pengelolaan lahan gambut yang tepat kita dapat menikmati hasilnya dengan penuh kebanggaan. Di tengah situasi pandemi saat ini jahe juga baik untuk dikonsumsi dan jika membutuhkan itu kita tidak perlu membeli jauh-jauh karena dari lahan gambut di Desa Sungai Asam, masyarakatnya juga mampu menghasilkan jahe. Tentunya masih banyak sekali manfaat dan potensi dari pengelolaan lahan gambut yang belum dikembangkan secara optimal di Desa Sungai Asam.

Menelisik Pahit Manisnya Pengalaman Petani di Lahan Gambut

Lahan Tumpang sari Mas Sahrul (Foto: Intan Wulandari, PMG KalBar 2021)

Tepat tanggal 30 Maret 2021 saya, Siti Ardiyanti, lulusan muda S-1 Pendidikan Biologi di Universitas Muhammadiyah Pontianak, resmi tergabung dalam Program Inkubasi Peneliti Muda Gambut (IPMG) Kalimantan Barat. Rasa bangga, bahagia, dan penuh tantangan ketika dinyatakan lolos menjadi salah satu PMG Kalimantan Barat. Sebab sebelum memilih bergabung menjadi PMG Kalbar, banyak keraguan dan keputusan yang harus saya ambil. Namun semua itu dapat terlewati dengan baik.

Selama bergabung di PMG dan mengikuti proses inkubasi kurang lebih satu bulan, banyak ilmu baru yang saya dapatkan. Latar belakang pendidikan yang saya miliki cukup berlawanan dengan kegiatan di lapangan. Saat dibangku perkuliahan lebih sering berkutat di laboratorium dan belajar microteaching, sehingga dalam mendalami proses inkubasi membuat saya harus bekerja keras untuk bisa mengimbangi rekan-rekan PMG lainnya. Banyak catatan kecil dan istilah baru terkait lahan gambut yang saya dapatkan seperti: muka air tanah, definisi lahan gambut, prinsip kerja lahan gambut, cara mengolah tanah dilahan gambut dan masih banyak lagi. Tetapi, momen yang paling menyenangkan dan menurut saya banyak sekali pembelajarannya, yaitu ketika kita berkegiatan secara langsung di lapangan. Kita dapat berkeliling desa menghampiri satu demi satu lahan pertanian, berdiskusi bersama petani, berswafoto, berkesempatan melihat petani kelapa nderes atau memanen nira, serta melihat proses pembuatan gula semut yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Pengalaman tersebut menjadi ilmu baru bagi saya.

Dari delapan desa yang sudah saya kunjungi banyak sekali pengalaman menarik yang tentunya memberikan kesan tersendiri bagi saya. Salah satunya Desa Permata yang berada di Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya. Dengan waktu tempuh 2 jam 45 menit perjalanan dari ibu kota menuju desa ini, diakses melalui jalur air dan jalur darat. Di Desa Permata ini masyarakat mayoritas menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

Dengan mengendarai sepeda motor, saya bersama tim menyusuri jalan tanah yang terjal dan becek saat hujan. Kami melewati pemukiman Desa Radak 1, Desa Radak 2, dan hamparan panjang kebun-kebun masyarakat yang gelap dan minim pemukiman untuk bisa sampai di daerah tersebut. Setengah jam perjalanan dari kantor Desa Permata, permukiman masyarakat pun mulai terlihat. Disanalah para petani lahan gambut Desa Permata bercocok tanam. Mereka hidup dengan kondisi yang serba terbatas dengan akses listrik yang belum tersedia. Selama berkegiatan disana, jalan tersebut telah menjadi rute tetap kami. Pulang pada waktu adzan maghrib berkumandang dengan suasana desa yang sudah gelap menjadi pengalaman tersendiri, dan memberikan gambaran bahwa hidup di lahan gambut masih jauh dari kata ‘sejahtera’.

Komoditas pertanian yang sangat populer dan menjadi tumpuan hidup masyarakat adalah jahe dan cabai. Mayoritas masyarakat menanam jahe dan cabai secara monokultur dan ada pula yang menanamnya dengan cara tumpangsari. Selama berkeliling desa dan mengamati lahan pertanian monokultur. Kami, tim PMG sering menerima keluhan dari petani jahe yang mengalami gagal panen karena daun yang menguning dan jahe membusuk akibat jamur. Sebenarnya berbagai upaya penyemprotan sudah mereka lakukan namun persoalan kerusakan tanaman belum dapat diatasi.

Berbeda ketika saya diantarkan ke lahan seluas 1,007 hektar dengan pola tumpang sari antara jahe dan cabe milik Mas Sahrul, salah satu petani disana. Tanamannya terlihat subur dan hijau. Sebenarnya saya sedikit terkejut karena sudah ada petani yang bisa dan paham akan pola tanam tumpang sari. Karena dari sebagian besar desa yang sudah kami kunjungi, masih banyak petani yang menanam dengan sistem monokultur. Menarik sekali bagi saya untuk bisa mengetahui bagaimana petani tersebut berpikir untuk menumpangsarikan antara jahe dan cabai. Ternyata cara ini beliau ketahui dari hasil penyuluhan pertanian lapangan dan menurutnya cara ini jauh lebih menguntungkan baik dari segi pendapatan maupun dalam mencegah gagal panen. Temuan ini jelas sangat berbeda dan bisa menjadi inspirasi bagi petani lain di Desa Permata. Dengan demikian penting memperkenalkan dan menyebarluaskan pilihan teknik pertanian kepada petani. Tanpa pengenalan kepada petani, mustahil untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam mengolah lahan gambut. Serta kepada pihak-pihak yang terkait baik pemerintah daerah setempat serta Dinas Pertanian untuk dapat memberikan dukungan baik berupa modal, kegiatan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan penyediaan sarana bertani untuk meningkatkan produksi usaha tani masyarakat Desa Permata.

Lahan tumpeng sari Sahrul, salah satu petani di Desa Permata
(Foto: Sahrul, Petani Desa Permata)
Proses pemanenan cabai monokultur
(Foto: Sahrul, Petani Desa Permata)
(a) Jahe monokultur
(Foto: Zaki Ruhyaman, PMG KalBar 2021)
(b) Cabe monokultur
(Foto: Zaki Ruhyaman, PMG KalBar 2021)

RPPEG dan Langkah Menuju Pelestarian Gambut di Kabupaten Kubu Raya

Apa itu RPPEG?

  • Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut atau RPPEG adalah sebuah dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah ekosistem gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. RPPEG merupakan sebuah upaya corrective action dalam pengelolaan ekosistem gambut (http://pkgppkl.menlhk.go.id/v0).
  • Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Fungsi Ekosistem Gambut dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum (PP. Nomor 71 Tahun 2014, pasal 1).
  • RPPEG merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP tersebut memberikan mandat kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk menyusun dan menetapkan RPPEG sesuai kewenangannya. Meliputi RPPEG nasional oleh Menteri, RPPEG Provinsi oleh Gubernur, dan RPPEG kabupaten/kota oleh Bupati/ Walikota.
  • Penyusunan dokumen RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan yaitu 2020 – 2049, dengan mengacu pada Kepmen LHK No. 246 Tahun 2020 tentang Rencana Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional Tahun 2020- 2049.
  • Dokumen RPPEG berisi analisa dan rekomendasi terhadap berbagai bentuk pengelolaan ekosistem gambut ideal, yang kemudian dirangkum dalam dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tingkat provinsi dan kabupaten.

Mengapa diperlukan?

  • RPPEG diharapkan mampu mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut melalui tata kelola ekosistem gambut yang baik.
  • Dokumen RPPEG merupakan upaya perlindungan awal lahan gambut dari kerusakan, dan degradasi lahan. Ketika lahan gambut tropis dikeringkan akan terjadi penurunan lima sentimeter profil per tahun dan regenerasi akan terjadi luar biasa lambat, dengan laju satu atau dua milimeter per tahun.
  • Dokumen RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan. Oleh karena  itu, proses penyusunannya harus komprehensif dan teliti, serta melibatkan multi pihak dari level kabupaten, provinsi hingga level nasional.
  • Materi dan muatan RPPEG mencakup pemanfaatan Ekosistem Gambut, pengendalian Ekosistem Gambut, pemeliharaan Ekosistem Gambut, serta adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Gambar 1. Peta Sebaran Gambut Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat: Fungsi Ekosistem Gambut dan Sebaran Ketebalan Gambut

Apa pentingnya untuk Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Kubu Raya?

  • RPPEG diharapkan dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Kubu Raya, untuk sekarang dan masa yang akan datang.
  • Ekosistem Gambut di Provinsi Kalimantan Barat tersebar pada 124 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dengan luas yang cukup besar yaitu 2,8 juta hektar (ha). Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan gambut terluas no.4 di Indonesia, setelah Papua, Riau, dan Kalimantan Tengah.
  • Berdasarkan fungsi peruntukannya lahan gambut di Kalimantan Barat dibedakan ke dalam lahan gambut dengan fungsi budidaya dan fungsi lindung. Dari 124 KHG yang ada di Kalimantan Barat luas lahan gambut dengan fungsi lindung adalah 210.997 ha (9%), sedangkan lahan gambut dengan fungsi budidaya seluas 2.033.323 (91%). Sementara itu, pada 16 KHG Prioritas di Provinsi Kalimantan Barat, terdiri dari ekosistem gambut dengan fungsi lindung seluas 107.794 ha (13%), kawasan budidaya 695.744 ha (87%). Kondisi ini mencerminkan bahwa dari segi tata kelola (kebijakan) ekosistem gambut di Provinsi Kalimantan Barat diarahkan untuk menunjang aktivitas ekonomi. Kebijakan ini mendorong peningkatan pemanfaatan lahan gambut secara intensif untuk usaha pertanian, kehutanan dan perkebunan, baik yang dilakukan oleh pemegang izin maupun oleh masyarakat.
  • Hutan rawa/gambut tersebar di 12 kabupaten/kota (dari 14 kabupaten/kota) yang ada di Provinsi Kalimantan. Tiga kabupaten yang mempunyai hutan rawa/gambut yang terluas adalah Kabupaten Kapuas Hulu seluas 379.909,69 ha (30.42 %), terluas kedua adalah Kabupaten Ketapang yaitu 304.865.39 ha (24.41%), dan terluas ketiga adalah Kabupaten Kubu Raya, dengan luasan 282.671,35 ha (22.64%). Karakteristik hutan rawa/ gambut yang terluas di Kabupaten Kubu Raya adalah hutan rawa/ gambut sekunder kerapatan tinggi, yaitu seluas 89.444,03 ha. Hal ini menunjukkan bahwa potensi gambut di Kabupaten Kubu Raya sangatlah besar.
  • Provinsi Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan luas lahan terbakar cukup signifikan di tahun 2015, yaitu mencapai 167.691 ha, dengan area gambut terbakar seluas 74.858 ha. Sejumlah 29.083 ha gambut diantaranya berada di kawasan Hutan dan APL, dan 2.833 ha berada di kawasan konsesi/perizinan. Peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut ini menyebabkan Provinsi Kalimantan Barat sebagai salah satu provinsi yang menjadi target restorasi gambut dari pemerintah Indonesia melalui Badan Restorasi Gambut (BRG).
  • Lokasi kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Barat terjadi di 31 KHG dengan luasan bervariasi. Dari 31 area KHG yang terbakar sebanyak tujuh KHG berada di Kabupaten Kubu Raya, menjadikan Kubu Raya sebagai Kabupaten dengan area terbakar paling luas. Ke-tujuh area KHG di Kubu Raya tersebut semuanya termasuk dalam 16 KHG yang menjadi area prioritas restorasi BRG, dengan area terluas berada pada KHG Sungai Penyangkat – Sungai Selat Maya, KHG Sungai Durian – Sungai Labai, KHG Sungai Ambawang-Sungai Kubu sebesar, Sungai Kapuas – Sungai Ambawang.
  • Luas total lahan gambut Kabupaten Kubu Raya adalah 342.984 ha atau sekitar 60 % dari luas wilayah, yang terdiri dari gambut dangkal seluas 171.376 ha, gambut sedang seluas 38.954 ha, gambut dalam seluas 49.621 ha, dan gambut sangat dalam seluas 83.013 ha.
  • Lahan gambut sudah lama digunakan untuk pertanian dan menjadi sumber penghidupan masyarakat. Masyarakat telah secara turun temurun hidup diatas lahan gambut dengan berbagai bentuk pertanian yang dikelola, khususnya tanaman sayuran, pangan, buah-buahan, dan perkebunan. Pengelolaan usaha tani yang dilakukan cukup beragam mulai dari pola berladang secara tradisional sampai pada pola usaha tani menetap dengan tujuan komersial.
  • Kebakaran lahan gambut berulang kali terjadi di wilayah Kabupaten Kubu Raya, dan telah menjalar ke area pemukiman yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat. Sebagai contoh, peristiwa kebakaran pada bulan Februari 2021, api dari kebakaran lahan gambut di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, bahkan menjalar ke bangunan SMKN 01 Sungai Raya, dan menyebabkan dua ruangan SMKN hangus terbakar. Di bulan yang sama kebakaran lahan gambut juga mendekati atau mengancam perumahan penduduk di Desa Limbung Kecamatan, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya.
  • Degradasi ekosistem lahan gambut terjadi karena faktor pengelolaan lahan gambut yang kurang memperhatikan ekosistem karakteristik lahan dan keberlanjutan. Sehingga kerusakan ekosistem lahan gambut tidak terelakan dan berdampak pada terganggunya fungsi hidrologis gambut, fungsi ekologi (areal hutan gambut tropis memiliki sumber kekayaan flora dan fauna yang cukup tinggi), serta kerugian sosial ekonomi.
  • Terdapat beberapa faktor penyebab dan permasalahan kerusakan lahan gambut, yakni: tata kelola lahan (merupakan aspek mendasar penyebab kerusakan ekosistem gambut), perubahan penggunaan lahan, dan kurangnya pemahaman terhadap karakteristik lahan gambut.
  • Lebih jauh, kerusakan gambut dapat memberikan efek lanjutan terhadap sosial ekonomi berupa: (1) gangguan kesehatan, (2) kerugian ekonomi dalam jumlah besar dan (3) terganggunya berbagai aktivitas masyarakat, serta (4) kematian akibat gangguan pernapasan. Dampak dari asap yang ditimbulkan dari kebakaran gambut dapat menyebabkan penyakit gangguan pernafasan akut dalam waktu yang lama, sehingga dapat menyebabkan kematian.
  • Kerusakan ekosistem gambut merupakan isu strategis yang disebabkan oleh beberapa factor, antara lain: 1) lahan gambut yang cukup luas di Provinsi Kalimantan Barat, 2) ketergantungan perekonomian pada sektor pertanian, dan 3) dampak kerusakan ekosistem gambut yang berdimensi luas.
  • Kerusakan ekosistem gambut, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga turun sampai ketingkat terendah pemerintahan, yaitu kabupaten. Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) di tingkat nasional telah memandatkan kepada daerah atau pemerintah provinsi untuk menyusun dokumen ini, yang kemudian akan diturunkan ke kabupaten/kota yang memiliki ekosistem Gambut.
  • Pelibatan para pemangku kepentingan dalam penyusunan dokumen RPPEG adalah wajib dan harus dilakukan bersama para pemangku Kepentingan. Diantaranya BRGM, TRGD, Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, KPH, Perusahaan, Akademisi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (DPUPR) yang kewenangannya di level provinsi maupun di level kabupaten.

Bagaimana Prosesnya?

  • RPPEG Provinsi Kalimantan Barat dibuat dengan mengacu pada RPPEG nasional dan Peraturan Menteri No. 60 Tahun 2019. Selanjutnya diikuti oleh RPPEG kabupaten Kubu Raya yang dibuat dengan mengacu pada RPPEG Provinsi Kalimantan barat dan Keputusan Gubernur yang memayungi RPPEG Provinsi apabila sudah diselesaikan.
  • Proses penyusunan dokumen RPPEG di Kabupaten Kubu Raya dimulai dengan melaksanakan diskusi terpumpun dan lokakarya yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (multistakeholder), untuk mendapatkan berbagai saran dan masukan dalam rangka melakukan penyusunan dokumen RPPEG.
  • Penyusunan Tim RPPEG juga merupakan proses yang diharapkan dapat mengintegrasikan parapihak dalam penyusunan RPPEG Kabupaten Kubu Raya secara partisipatif dan transparan.
  • FGD / Lokakarya juga dimaksudkan untuk melakukan perumusan dokumen RPPEG sebagai upaya perbaikan tatakelola kawasan ekosistem gambut dan perlindungannya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Kubu Raya.
  • Dalam tahapan perencanaan, langkah pertama yang dilakukan dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut adalah inventarisasi ekosistem gambut yang diikuti dengan penetapan fungsi ekosistem gambut menjadi fungsi lindung ekosistem gambut dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Peta fungsi ekosistem gambut dan kondisi eksisting pemanfaatan ekosistem gambut akan memberikan implikasi dan permasalahan yang dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan ekosistem gambut yang dilakukan oleh berbagai sektor, daerah dan masyarakat.
  • Di dalam isinya, Dokumen Rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut harus bisa mengakomodasi berbagai kepentingan (sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan tetap memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat, perubahan iklim, dan rencana tata ruang wilayah untuk menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut yang dapat menunjang kehidupan baik generasi sekarang maupun generasi yang datang.

Legal Formal RPPEG

  • RPPEG mengarahkan agar perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dilakukan secara sistematis, harmonis, dan sinergis dengan berbagai perencanaan pembangunan lainnya, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), dan rencana strategis atau sektoral lainnya, baik di level pusat maupun daerah.
  • Dokumen RPPEG provinsi akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur, dan Dokumen RPPEG kabupaten akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota, yang selanjutnya menjadi rujukan bersama multipihak dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
  • Gubernur menetapkan RPPEG provinsi paling lambat 2 (dua) tahun sejak RPPEG nasional ditetapkan. Bupati/Walikota menetapkan RPPEG kabupaten/kota paling lambat 2 (dua) tahun sejak RPPEG provinsi ditetapkan (Permen No. 60 / 2019, pasal 34).
  • Rencana Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional Tahun 2020-2049, telah ditetapkan berdasarkan Kepmen LHK No. 246 Tahun 2020.

Disarikan dari berbagai sumber:

RPPEG dan Jalan Panjang Menuju Gambut Lestari di Sumatera Selatan

Apa itu RPPEG?

  • Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut atau RPPEG adalah sebuah dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah ekosistem gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. RPPEG merupakan sebuah upaya corrective action dalam pengelolaan ekosistem gambut (http://pkgppkl.menlhk.go.id/).
  • Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Fungsi Ekosistem Gambut dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum (PP. Nomor 71 Tahun 2014, pasal 1)
  • RPPEG merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP tersebut memberikan mandat kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk menyusun dan menetapkan RPPEG sesuai kewenangannya. Meliputi RPPEG nasional oleh Menteri, RPPEG provinsi oleh Gubernur, dan RPPEG kabupaten/ kota oleh Bupati/Walikota.
  • Penyusunan dokumen RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan yaitu 2020 – 2049, dengan mengacu pada Kepmen LHK No. 246 Tahun 2020 tentang Rencana Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional Tahun 2020- 2049.
  • Dokumen RPPEG berisi analisa dan rekomendasi terhadap berbagai bentuk pengelolaan ekosistem gambut ideal, yang kemudian dirangkum dalam dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tingkat provinsi dan kabupaten.

Mengapa diperlukan?

  • RPPEG diharapkan mampu mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut melalui tata kelola ekosistem gambut yang baik.
  • Dokumen RPPEG merupakan upaya perlindungan awal lahan gambut dari kerusakan, dan degradasi lahan. Ketika lahan gambut tropis dikeringkan akan terjadi penurunan lima sentimeter profil per tahun dan regenerasi akan terjadi luar biasa lambat, dengan laju satu atau dua milimeter per tahun.
Gambar 1. Peta Rencana Restorasi Ekosistem Gambut (RREG): Kawasan Hidrologis dan Fungsi Ekosistem Gambut
Provinsi Sumatera Selatan
  • Dokumen RPPEG memuat rencana jangka panjang pengelolaan dan perlindungan lahan gambut untuk 30 tahun ke depan. Oleh karena itu, proses penyusunannya harus komprehensif dan teliti, serta melibatkan multi pihak dari level kabupaten, provinsi hingga level nasional.
  • Materi dan muatan RPPEG mencakup pemanfaatan Ekosistem Gambut, pengendalian Ekosistem Gambut, pemeliharaan Ekosistem Gambut, serta adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

Apa pentingnya untuk Sumatera Selatan?

  • RPPEG diharapkan dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut untuk sekarang dan masa yang akan datang di Sumatera Selatan.
  • Sumatera Selatan adalah provinsi dengan luasan ekosistem Gambut terluas no. 2 di pulau Sumatera setelah Provinsi Riau. Sayangnya saat ini ekosistem gambut Sumatera Selatan berada dalam kondisi yang membutuhkan upaya pemulihan menyeluruh. Berdasarkan kondisi tersebut, Provinsi Sumatera Selatan masuk sebagai salah satu provinsi prioritas restorasi gambut.
  • Luas Ekosistem Gambut yang ada di Provinsi Sumatera Selatan 2.09 juta hektar yang kemudian dibagi habis menjadi 36 Kesatuan Hidrologis Gambut atau KHG (Kementerian Lingkungan Hidup, 2017). Secara keseluruan total area ekosistem gambut Sumatera Selatan setara dengan 24,07% total luasan area provinsi. Dari data luasan tutupan lahan KHG Sungai Sugihan–Sungai Lumpur adalah KHG terbesar dengan luas mencapai 0,63 juta ha atau 30,3 % dari total luas KHG yang ada di Sumatera Selatan.
  • Dari data Ekosistem gambut Provinsi Sumatera Selatan yang tersebar di 7 kabupaten/kota, hampir separuhnya berada pada wilayah administrasi Kabupaten Ogan Komering Ilir, dengan luasan 1,03 juta hektar atau 49,28 % dari total area ekosistem gambut yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Dilanjutkan oleh Kabupaten Banyuasin dengan luasan 0,563 juta hektar atau 26,92% total ekosistem gambut di Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Musi Banyuasin (0,359 juta hektar atau 17,16%).
  • Deforestasi pada area KHG Sumatera Selatan pada periode tahun 1990-2017 sebesar 1.298.154 ha (62%), mayoritas terjadi pada lahan gambut dengan luas 932.204 ha, dan 520.165 ha diantaranya merupakan area dengan izin HTI, sedangkan 88.084 ha merupakan area dengan izin kepemilikan kebun. Penurunan fungsi hutan (degradasi) pada periode 1990-2017 sebesar 277.367 ha (13%), sekitar 71% merupakan degradasi pada lahan gambut (196.325 ha) dan 44.983 ha diantaranya merupakan area bergambut dengan izin HTI, sementara 920 ha berada pada area berizin kebun. (Dokumen RREG Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2017- 2021, hlm. 46).
  • Kebakaran lahan ekosistem gambut di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2015, merupakan tahun dengan luas terbakar pada area KHG Sumatera Selatan sebesar 516.782 ha. Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki area paling besar yaitu 309.434 ha (59,8%), Musi Banyuasin dengan 86.889 ha (12,8%) dan Banyuasin dengan area 87.689 ha (15,8%). Kondisi itu telah membawa banyak perubahan di berbagai aspek kehidupan dan penghidupan di Indonesia umumnya, dan Provinsi Sumatera Selatan khususnya, baik dalam aspek kesehatan, lingkungan, pendidikan, ekonomi dan sosial. Lahan gambut yang sudah terbakar akan sangat sulit dipadamkan, apalagi jika yang terbakar adalah lapisan bawah-nya, maka proses pemandamannya bisa berhari-hari.
  • Perencanaan pembangunan tanpa mempertimbangkan perencanaan hijau serta tata Kelola lahan yanga baik pasti akan berujung pada kerugian dari segala aspek yang ada. Diantaranya, menurunnya fungsi ekologi yang berdampak pada bencana alam (banjir, kebakaran, menurunnya kualitas air, sedimentasi, berkurangnya debit air dan matinya keanekaraman hayati).
  • Di Sumatera Selatan, KHG tersebar di 7 kabupaten/kota yang ber-gambut, dimana didalam adminstrasi-nya KHG ini berada pada lintas kabupaten dan lintas provinsi. Ada 36 KHG yang tersebar di 7 kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Selatan memerlukan aturan pengelolaannya. Peran RPPEG menjadi hal yang krusial pada saat ini.
  • Kerusakan ekosistem gambut, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga turun sampai ketingkat terendah pemerintahan, dalam hal ini adalah kabupaten. Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) di tingkat nasional telah memandatkan daerah atau pemerintah provinsi untuk menyusun dokumen ini, yang kemudian akan diturunkan oleh kabupaten/kota yang memiliki ekosistem Gambut.
  • Pelibatan para pemangku kepentingan dalam penyusunan dokumen RPPEG adalah wajib dan harus dilakukan, para pemangku kepentingan ini antara lain: BRGM, TRGD, Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, KPH, Perusahaan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (DPUPR) yang kewenangannya di level provinsi maupun di level kabupaten.

Bagaimana Prosesnya?

  • RPPEG provinsi dibuat dengan mengacu pada RPPEG nasional dan Peraturan Menteri No. 60 Tahun 2019. Selanjutnya diikuti oleh RPPEG kabupaten yang dibuat dengan mengacu pada RPPEG provinsi dan Keputusan Gubernur yang memayungi RPPEG provinsi.
  • Proses penyusunan dokumen RPPEG ditingkat provinsi dimulai dengan melaksanakan diskusi terpumpun dan lokakarya yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (multistakeholder), untuk mendapatkan berbagai saran dan masukan dalam rangka melakukan penyusunan dokumen RPPEG.
  • FGD / Lokakarya juga dimaksudkan untuk melakukan perumusan dokumen RPPEG sebagai upaya perbaikan tatakelola kawasan ekosistem gambut dan perlindungannya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Sumatera Selatan.
  • Dalam tahapan perencanaan, langkah pertama yang dilakukan dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut adalah inventarisasi ekosistem gambut yang diikuti dengan penetapan fungsi ekosistem gambut menjadi fungsi lindung ekosistem gambut dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Peta fungsi ekosistem gambut dan kondisi eksisting pemanfaatan ekosistem gambut akan memberikan implikasi dan permasalahan yang dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan ekosistem gambut yang dilakukan oleh berbagai sektor, daerah dan masyarakat.
  • Di dalam isinya Dokumen Rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut harus bisa mengakomodir berbagai kepentingan (sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan tetap memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat, perubahan iklim, dan rencana tata ruang wilayah untuk menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut yang dapat menunjang kehidupan baik generasi sekarang maupun generasi yang datang.

Legal Formal RPPEG

  • RPPEG mengarahkan agar perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dilakukan secara sistematis, harmonis, dan sinergis dengan berbagai perencanaan pembangunan lainnya, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN), dan rencana strategis atau sektoral lainnya, baik di level pusat maupun daerah.
  • Dokumen RPPEG provinsi akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur, yang selanjutnya menjadi rujukan bersama multipihak dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Sumatera Selatan.
  • Gubernur menetapkan RPPEG provinsi paling lambat 2 (dua) tahun sejak RPPEG nasional ditetapkan. Bupati/wali kota menetapkan RPPEG kabupaten/ kota paling lambat 2 (dua) tahun sejak RPPEG provinsi ditetapkan (Permen No. 60 / 2019, pasal 34).
  • Rencana Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional Tahun 2020-2049, telah ditetapkan berdasarkan Kepmen LHK No. 246 Tahun 2020.

Disarikan dari berbagai sumber:

  • Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 dan PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
  • Peraturan Menteri No. 60 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan, Penetapan, dan Perubahan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG)
  • Dokumen Rencana Restorasi Ekosistem Gambut (RREG) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2017- 2021.
  • Kepmen LHK No. 246 Tahun 2020 tentang Rencana Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG) Nasional Tahun 2020-2049.
  • http://pkgppkl.menlhk.go.id/
  • dan lainnya.